Puji
syukur kehadirat Allah SWT, atas segala Rahmat dan karunia-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.
Makalah
dengan judul “Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang“ ini dibuat guna memenuhi tugas Mata Kuliah Tindak Pidana
Tertentu Di Luar KUHP dan sebagai wacana sederhana di kalangan mahasiswa.
Sebagai
manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, Saya menyadari banyak kekurangan
dalam makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat Saya
harapkan guna menyempurnakan makalah selanjutnya.
Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu sehingga tugas ini dapat
terselesaikan.
Ternate, 02 November 2013
Anggi Dwi Putra, S.H
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini yang menjadi
perhatian hampir semua negara di dunia adalah dengan semakin meningkatnya
kemajuan dibidang teknologi, yang membuat semakin meningkat pula kejahatan money laundering atau pencucian uang dalam aspek
keuangan, yang berada dalam ruang Iingkup internasional. Selain itu, pelaku
tindak pidana pencucian uang ini juga mempunyai banyak pilihan mengenai dimana
dan bagaimana mereka menginginkan uang hasil kejahatan menjadi kelihatan bersih
dan sah menurut hukum.
Perkembangan teknologi
perbankan internasional yang telah memberikan jalan bagi tumbuhnya jaringan
perbankan lokal/regional menjadi suatu lembaga keuangan global telah memberikan
kesempatan kepada pelaku money laundering untuk
memanfaatkan jaringan layanan tersebut yang berdampak uang hasil transaksi
ilegal menjadi legal dalam dunia bisnis di pasar keuangan internasional.[1]
Money laundering sebagai
salah satu jenis kejahatan kerah putih (White Collar Crime) yang
sebenarnya sudah ada sejak tahun 1967. Pada saat itu, seorang perompak di laut
yang bernama Henry Every dalam perompakannya terakhir merompak kapal Portugis
berupa berlian senilai £325.000 poundsterling (setara Rp5.671.250.000). Harta
rampokan tersebut kemudian dibagi bersama anak buahnya, dan bagian Henry Every
ditanamkan pada transaksi perdagangan berlian dimana ternyata perusahaan
berlian tersebut juga merupakan perusahaan pencucian uang milik perompak lain
di darat.
Namun istilah Money Laundering baru muncul ketika
Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an,
memulai bisnis tempat cuci otomatis (Laundromats). Bisnis ini dipilih
karena menggunakan uang tunai yang mempercepat proses pencucian uang agar uang
yang mereka peroleh dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian, dan
penyelundupan minuman keras terlihat sebagai uang yang halal. Walau demikian,
Al Capone tidak dituntut dan dihukum dengan pidana penjara atas kejahatan
tersebut, akan tetapi lebih karena telah melakukan penggelapan pajak. Selain Al
Capone, terdapat juga Meyer Lansky, mafia yang menghasilkan uang dari kegiatan
perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu dengan mendirikan bisnis hotel,
lapangan golf dan perusahaan pengemasan daging. Uang hasil bisnis ilegal ini
dikirimkan ke beberapa bank-bank di Swiss yang sangat mengutamakan kerahasian
nasabah, untuk di depositokan. Deposito ini kemudian digunakan untuk
mendapatkan pinjaman yang dipergunakan untuk membangun bisnis legalnya. Berbeda
dengan Al Capone, Meyer Lansky justru terbebas dari tuntutan melakukan
penggelapan pajak, tindak pidana termasuk tindak pidana pencucian uang yang
dilakukannya.[2]
Di Indonesia sendiri, telah melakukan kriminalisasi
terhadap pencucian uang sejak awal tahun 2002 dengan diundangkannya
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang ( UUTPPU
), dan kemudian pada Oktober 2003 di amandemen dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, yang masih perlu
disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar
internasional sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru, lalu kemudian di buat Undang-Undang No. 8 Tahun
2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Meskipun
telah berlaku selama lebih dari 2 tahun belakangan ini, nampaknya implementasi
terhadap ketentuan undang-undang ini masih belum begitu efektif dan jauh dari
memuaskan.
Berdasarkan
uraian dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan
rumusan masalah
sebagai berikut:
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan tindak pidana pencucian uang atau money laundering ?
2. Faktor-faktor
apakah yang menyebabkan tindak pidana pencucian uang atau money laundering
dapat terjadi ?
3. Mengapa
tindak pidana pencucian uang harus diberantas dan bagaimana strategi
pemberantasannya ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi Tindak Pidana Pencucian
Uang
Secara etimologis, pencucian
uang berasal dari bahasa Inggris yaitu money
artinya uang dan laundering artinya pencucian.
Jadi, secara harfiah money laundering merupakan pencucian uang atau pemutihan
uang hasil kejahatan.
Pencucian uang secara
umum merupakan kegiatan-kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh
seorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram (uang yang berasal dari tindak
kejahatan) dengan maksud menyembunyikan asal usul uang tersebut dari pemerintah
atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak kejahatan
dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga apabila uang
tersebut kemudian dikeluarkan dari sistem keuangan itu, maka uang tersebut
telah berubah menjadi sah.[3]
Menurut Sutan Remi
Sjahdeni, pencucian uang atau money laundering adalah rangkaian kegiatan yang
merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang
haram, yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan
atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang
berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara antara lain
dan terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (Financial System) sehingga uang
tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang
halal.[4]
Menurut Pasal 1 Angka 1
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang, yang dimaksud dengan pencucian uang adalah segala
perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam
undang-undang ini.
Pencucian uang
merupakan suatu kejahatan awal atau asal (Predicate
Offence). Selain itu, pencucian uang merupakan suatu tindak pidana yang
berdiri sendiri. Biasanya money laundering
atau Pencucian uang ini, dilakukan oleh orang atau korporasi yang berada
dalam ruang lingkup yang besar, dilakukan oleh para orang pintar atau pejabat
dan uang yang dicuci biasanya dalam jumlah yang besar. Sehingga money
laundering atau Pencucian Uang juga
sering disebut kejahatan kerah putih (White
Colar Crime).
Pencucian
uang dapat dilakukan oleh setiap orang, dimana setiap
orang yang dimaksud disini adalah perseorangan atau korporasi. Tujuan
seseorang atau korporasi melakukan pencucian uang yaitu agar dapat menikmati dengan tenang uang hasil tindak pidana
sebelumnya seolah-olah uang tersebut merupakan uang yang sah atau halal.
Untuk
membuktikan
adanya suatu tindak pidana pencucian uang bukanlah hal yang mudah, karena
proses pencucian uang itu secara esensi melalui beberapa tahap. Tahapan-tahapan
dalam pencucian uang, antara lain :
1. Penempatan
(Placement), merupakan penempatan
uang hasil kejahatan dalam bentuk simpanan tunai di bank, polis asuransi,
membeli rumah, perhiasan, dan lain sebagainya. Pada tahap inilah yang paling
gampang dideteksi adanya suatu tindak pidana pencucian uang, karena uang hasil
kejahatan berhubungan langsung dengan sumbernya.
2. Pelapisan
(Layering), merupakan proses
pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil
placement ke tempat lainnya, melalui transaksi yang kompleks yang di desain
untuk menyamarkan atau mengelabui sumber dana illegal tersebut. Layering dapat
dilakukan melalui pembukaan rekening perusahaan - perusahaan fiktif dengan
memanfaatkan sistem kerahasiaan bank, dan bahkan menggunakan sejumlah rekening
yang di transfer ke berbagai negara. Sehingga dalam tahap ini lebih sulit di
lacak karena selalu ada intervensi mekanisme bank internasional.
3. Penggabungan
(Integration), merupakan tahap
memasukkan kembali dana yang sudah tidak tampak asal-usulnya tersebut kedalam transaksi yang
sah. Pada tahap ini uang yang dicuci pada tahapan Placement dan Layering
dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan
remi, sehingga tidak terlihat berhubungan sama sekali dengan aktifitas
kejahatan, uang yang telah dicuci dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan
bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.[5]
Adapun sumber uang
hasil tindak pidana atau “uang haram” dalam proses pencucian uang sebagaimana
yang disebutkan dalam Pasal 2 Angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, antara lain :
a. Korupsi.
b. Penyuapan.
c. Narkotika.
d. Psikotropika.
e. Penyelundupan
tenaga kerja.
f. Penyelundupan
migrant.
g. Di
bidang perbankan.
h. Di
bidang pasar modal.
i.
Di bidang perasuransian.
j.
Kepabeanan.
k. Cukai.
l.
Perdagangan orang.
m. Perdagangan
senjata gelap.
n. Terorisme.
o. Penculikan.
p. Pencurian.
q. Penggelapan.
r.
Penipuan.
s. Pemalsuan
uang.
t.
Perjudian.
u. Prostitusi.
v. Di
bidang perpajakan.
w. Di
bidang kehutanan.
x. Di
bidang lingkungan hidup.
y. Di
bidang kelautan dan perikanan.
z. Tindak
pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Menurut Munir Fuady dan
Bambang Soetijoprodjo seperti yang dikutip Nurmalawaty, SH ada beberapa modus
dengan menggunakan objek dan sarana dalam tindak pidana pencucian uang, anta
lain :
1. Modus
Loan Back,
dengan cara meminjam uangnya sendiri dari perusahaan luar negeri, semacam perusahaan
bayangan yang direksi dan pemegang sahamnya adalah dia sendiri.
2. Modus
C-Chase, modus ini cukup rumit dan
sifatnya berliku-liku, beberapa kali ke beberapa bank lain, lalu di konversi
dalam bentuk Certificate Of Deposite untuk menjamin loan. Disini loan tidak
pernah ditagih, namun hanya dengan mencairkan sertifikat deposito saja.
3. Modus
Transaksi Dagang Internasional, dengan cara menggunakan sarana dokumen loan
atau certificate yang menjadi fokus urusan bank, baik korespoden maupun opening
bank adalah dokumen bank itu sendiri dan tidak mengenai keadaan barang. Maka
dalam hal ini yang menjadi sasaran money loundering adalah invoice yang besar terhadap barang yang kecil atau malahan barang
itu tidak ada.
4. Modus
Penyelundupan Uang Tunai, dengan cara membawa uang tunai melalui perbatasan
antar negara pada pelabuhan laut atau bandar udara.
5. Modus
Pembelian Perusahaan, dengan cara membeli perusahaan (akuisisi) kemudian
sahamnya dijual lagi kepada pihak lain dan menghasilkan uang yang keliohatannya
bersih.
6. Modus
Over Invoices atau Doubel Invoice, modus ini dilakukan
dengan mendirikan perusahaan ekspor impor di negara sendiri, lalu di luar
negeri ( yang bersifat tax haven ) mendirikan pula perusahaan bayangan.
Perusahaan tax haven ini mengekspor barang ke Indonesia dan perusahaan ini
membuat invoice pembelian dengan harga tinggi. Inilah yang disebut doubel
invoice. Supaya perusahaan di Indonesia terus bertahan maka perusahaan di luar
negeri memberikan loan ( pinjaman ). Dengan cara ini, uang kotor dari
perusahaan lain itu masuk ke dalam negeri secara resmi.
7. Modus
Real Estate, yaitu menjual suatu
properti beberapa kali kepada perusahaan didalam kelompok yang sama. Modus yang
sama pula dilakukan dalam pasar modal, yakni pembelian saham itu hanya
perusahaan-perusahaan di lingkungan itu saja dengan tawaran harga tinggi.
8. Modus
Investasi Tertentu, biasanya dalam bisnis transaksi barang antik atau lukisan,
kemudian dijual kepada seseorang yang sebenarnya adalah suruhan si pelaku
sendiri dengan harga mahal.
9. Modus
Perdagangan Saham, modus amsterdam dengan melibatkan perusahaan efek Nusse
Brink, dimana beberapa nasabah perusahaan efek ini menjadi pelaku tindak pidana
pencucian uang.
10. Modus
Pizza Connection, dilakukan dengan
menginvestasikan hasil perdagangan obat bius yang di investasikan ke Karibia
dan Swiss.
11. Modus
La Mina, modus ini terjadi di Amerika
Serikat tahun 1990, dana yang diperoleh dari perdagangan obat sebagai suatu
sindikat. Kemudian emas batangan diekspor dari Uruguay dengan maksud supaya
impornya bersifat illegal. Uang disimpan dalam desain kotak kemasan emas,
kemudian dikirim pada pedagang perhiasan yang bersindikat mafia obat bius.
Penjualan dilakukan di Los Angeles, hasil uang tunai dibawa ke bank, dengan
maksud supaya seakan-akan sebagai hasil dari penjualan emas dan permata dan
dikirim ke bank New York, dari kota ini dikirim ke bank di Eropa melalui
Panama. Uang tersebut akhirnya sampai di Colombia guna didistribusi membayar
ongkos-ongkos, investasi perdagangan obat bius, tetapi sebagian besar untuk
investasi jangka panjang.
12. Modus
Deposite Taking, mendirikan
perusahaan keuangan seperti Deposit Taking Institition di Canada. DTI ini
terkenal dengan sarana pencucian uang seperti Chartede banks, Trust companied,
dan Credit union. Kasus Money Loundering yang melibatkan DTI antara lain
transfer melalui telex, surat berharga, penukaran valuta asing, pembelian
obligasi pemerintah dan Treasury bills.
13. Modus
Identitas Palsu, yakni memanfaatkan lembaga perbankan sebagai pemutih uang
dengan cara mendepositokan menggunakan nama palsu, menggunakan save deposite
box untuk menyembunyikan uang hasil kejahatan, menyediakan fasilitas transfer
supaya dengan mudah ditransfer ke tempat yang dikehendaki atau menggunakan
electronic fund transfer untuk melunasi kewajiban transaksi gelap, serta
menyimpan atau mendistribusikan hasil transaksi gelap tersebut.[6]
B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya
Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)
Berbagai
tindak pidana pencucian uang baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun
korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi
batas wilayah negara lain semakin meningkat. Menurut Sutan
Remi Sjahdeni, ada beberapa faktor pendorong maraknya kegiatan pencucian uang di
berbagai negara. Faktor – faktor tesebut antara lain :
1. Faktor
Globalisasi, seperti yang diungkapkan oleh Pino Arlacchi, Executive Director dari US Offices For Drug Control and Crime
Prevention pada pertengahan 1998 sebagai berikut : “globalisasi telah
mengubah sistem keuangan internasional kedalam tujuan para pelaku pencucian
uang, dan proses tindakan kriminal ini menyelewengkan triliunan dolar setiap
tahun dari pertumbuhan ekonomi disaat kondisi keuangan baik di setiap negara
yang memiliki pengaruh terhadap stabilitas pasar global.
2. Faktor
Cepatnya Kemajuan Teknologi, kemajuan yang paling mendorong maraknya pencucian
uang adalah kemajuan di bidang informasi, yaitu dengan munculna internet yang
memperlihatkan perkembangan kemajuan yang luar biasa. Dengan kemajuan teknologi
informasi tersebut, maka batas-batas negara menjadi tidak berarti lagi, dan
dunia menjadi satu kesatuan tanpa batas. Kejahatan-kejahatan terorganisasi
menjadi mudah dilakukan secara lintas batas Negara-negara sehingga kejahatan
tersebut berkembang menjadi kejahatan-kejahatan transnasional. Pada saat ini
organisasi kejahatan dapat secara mudah dan cepat memindahkan uang dalam jumlah
yang besar dari suatu yurisdiksi ke yurisdiksi yang lain.
3. Faktor
Ketentuan Rahasia Bank Yang Sangat Ketat Dari Negara Yang Bersangkutan,
berkaitan dengan reformasi di bidang perpajakkan ( Tax Reforms ) dari Negara-negara Uni-Eropa yang dalam pertemuan
para menteri keuangan Negara-negara tersebut telah menghimbau agar meniadakan
ketentuan-ketentuan yang menyangkut rahasia bank.
4. Faktor
Belum Diterapkannya Asas “ Know Your
Customer “ atau Asas Prinsip Mengenal Nasabah, bagi perbankan dan penyedia
jasa keuangan lainnya secara sungguh-sungguh, adanya suatu negara yang
memungkinkan seseorang menyimpan dana di suatu bank dengan menggunakan nama
samaran atau tanpa nama.
5. Faktor
Makin Maraknya Electronic Banking,
eletronic banking adalah proses pelayanan jasa dan produk perbankan dengan
memanfaatkan jaringan elektronik, antara lain dengan diperkenankannnya ATM dan
Wire Transfer. Electronic banking telah memberikan peluang kepada para pelaku
pencucian uang untuk melakukan pencucian uang model baru melalui jaringan
internet yang disebut cyberloundering.
6. Faktor
Penggunaan Electronic Money atau Uang
Elektronik, Bank For International Settlements mendefenisikan Electronic Money
sebagai mekanisme penyimpanan nilai dan atau pembayaran yang dilakukan secara
elektronik. Dengan kata lain E-Money memiliki dua fungsi uang yakni sebagai
penyimpanan nilai (store value) dan
prevate payment yang pada hakekatnya identik dengan fungsi Standart Of Deffeered Payment pada uang secara umum.
7. Faktor
Dimungkinkannya Penggunaan Berlapis Pihak Pemberi Jasa Hukum untuk Melakukan
Penempatan Dana, dengan cara ini pihak penyimpan dana atau deposan bukanlah
pemilik yang sesungguhnya. Deposan hanyalah bertindak sebagai kuasa atau
pelaksana amanah dari pihak lain yang menugasinya untuk mendepositokan uang di
suatu bank. Dengan kata lain, terjadi estafet berlapis-lapis, dan biasanya para
penerima kuasa yang bertindak berlapis-lapis secara estafet itu adalah kantor-kantor
pengacara.
8. Faktor
Adanya Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Keharusan Merahasiakan
Hubungan Antara Lawyer Dengan Kliennya Dan Akuntan Dengan Kliennya, menurut hukum
di beberapa negara maju seperti Swiss dan Australia kerahasiaan hubungan antara
klien dan lawyer dilindungi oleh undang-undang. Para lawyer yang menyimpan dana
simpanan atas nama kliennya, tidak dapat dipaksa oleh otoritas yang berwenang
untuk mengungkapkan identitas kliennya.
9. Faktor
Tidak Bersungguh-Sungguhnya Pemerintah Dari Suatu Negara Untuk Membiarkan
Praktek-Praktek Pencucian Uang, karena memperoleh keuntungan dari penempatan
uang-uang haram di perbankan negara. Dana yang dikumpul sangat perlu untuk
digunakan membiayai pembangunan, memperoleh keuntungan dari penyaluran dana,
dan dapat memberikan kontribusi berupa pajak yang besar kepada negara.
10. Faktor
Belum Adanya Regulasi Yang Mengatur Tentang Pemberantasan Pencucian Uang Disuatu
Negara, hal ini dimungkinkan karena adanya keengganan dari negara untuk
bersungguh-sungguh ikut memberantas money loundering.[7]
Faktor-faktor inilah yang membuat peluang melakukan tindak
pidana pencucian uang semakin marak di berbagai negara-negara di dunia, salah satunya di Indonesia.
Dengan berbagai macam faktor penyebab seperti yang
disebutkan diatas, maka pencucian uang merupakan
suatu tindak pidana yang patut diberantas.
Praktek pencucian uang
atau money laundering memang tidak secara langsung merugikan orang atau perusahaan
tertentu. Secara sepintas bahkan praktek ini tampak tidak menimbulkan korban.
Praktek pencucian uang berbeda dengan tindak pidana lain seperti pembunuhan,
perampokan atau pencurian yang menimbulkan kerugian langsung bagi korbannya.
Beberapa dampak negatif
dan kerugian yang ditimbulkan oleh kegiatan pencucian uang terhadap masyarakat
antara lain:
a. Pencucian
uang memungkinkan para pengedar narkoba, penyeludup dan penjahat lainnya untuk
dapat memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya
biaya penegakan hukum untuk memberantasnya.
b. Kegiatan
ini mempunyai potensi untuk merongrong masyarakat keuangan sebagai akibat
demikian besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Potensi
untuk melakukan korupsi meningkat bersamaan dengan peredaran uang haram yang
sangat besar.
c. Pencucian
uang mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak dan secara tidak langsung
merugikan para pembayar pajak yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang
sah.
d. Masuknya
uang dan dana hasil kejahatan ke dalam keuangan suatu negara telah menarik
unsur yang tidak diinginkan melalui perbatasan, menurunkan kualitas hidup, dan
meningkatkan kekhawatiran terhadap keamanan nasional.
e. Pencucian
uang dapat merugikan sektor swasta yang sah (Undermining
in the Legitimate Privet sector).
Salah satu dampak mikro ekonomi pencucian uang terasa di sektor swasta.
Para pelaku kejahatan seringkali menggunakan perusahaan-perusahaan untuk
mencampur uang haram dengan uang sah, dengan maksud untuk menyamarkan uang hasil
kejahatannya. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki akses ke dana haram yang
sangat besar jumlahnya, yang memungkinkan mereka untuk menyediakan
barang-barang dan jasa yang dijual oleh perusahaan-perusahaan tersebut dengan
harga yang jauh di bawah pasar. Bahkan perusahaan ini dapat saja menjual
barang-barang tersebut di bawah harga produksinya. Dengan demikian mereka akan memiliki
competitive advantage terhadap
perusahan yang bekerja secara sah. Hal ini membuat bisnis yang sah menjadi
kalah bersaing dan menjadi bangkrut.
f. Pencucian
uang dapat mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan
ekonominya.[8]
C.
Alasan
Diperlakukannya Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ( Money Laundering )
Secara
umum, tujuan dilakukannya pemberantasan tindak pidana pencucian uang yaitu
karena tindak pidana ini dapat merusak stabilitas perekonomian negara dan agar
orang yang melakukan atau pelaku tindak pidana pencucian uang
tidak bisa menikmati hasil kejahatannya itu. Secara rinci
dampak dari pencucian uang dapat dikaatakan sebagai berikut :
1)
Merongrong
sektor swasta yang sah.
2)
Merongrong
integritas pasar-pasar keuangan.
3)
Mengakibatkan
hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya.
4)
Timbulnya
distorsi dan ketidak stabilan ekonomi.
5)
Mengurangi
pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak.
6)
Membahayakan
upaya-upaya privatisasi perusahaan suatu negara yang di lakukan oleh pemerintah.
7)
Mengakibatkan
rusaknya reputasi negara.
8)
Menimbulkan
biaya sosial yang tinggi.
9)
Distorsi
terhadap system persaingan bebas.
10) Mempersulit pengendalian moneter.
11) Meningkatnya country risk.
12) Meningkatkan kejahatan baik
kuantitas maupun kualitasnya.
13) Meningkatkan kerawanan sosial.
Sehubungan
dengan hal tersebut, upaya untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian uang
telah menjadi perhatian internasional. Berbagai upaya telah ditempuh oleh
masing-masing negara untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian
uang termasuk dengan cara melakukan kerjasam internasional, baik melalui forum
bilateral maupun multilateral.
Di
Indonesia khususnya sudah di undangkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemberantasan
dan pencegahan tindak pidana
pencucian uang yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 2010. Dalam konteks kepentingan nasional, ditetapkannya undang-undang tersebut merupakan penegasan bahwa pemerintah dan sektor swasta bukan merupakan bagian dari
masalah, akan tetapi bagian dari penyelesaian masalah, baik di sektor ekonomi,
keuangan, maupun perbankan. Namun, dalam implementasinya undang-undang ini tidak berjalan secara efektif, karena pada kenyataannya
justru pemerintah dan sektor swastalah yang berperan besar dalm
praktik pencucian uang.
Terlepas dari kenyataan
bahwa Indonesia membuat anti pencucian uang pada awalnya karena desakan internasional
bukan karena kesadaran pentingnya pemberantasan pencucian bagi Indonesia. Praktik pencucian uang adalah suatu jalan bagi para
pelaku kejahatan ekonomi untuk dengan leluasa dapat menikmati dan memanfaatkan
hasil kejahatannya. Selain itu uang hasil kejahatan merupakan nadi bagi kejahatan
terorganisasi (organized crimes) dalam mengembangkan jaringan kejahatan mereka,
maka penghalangan agar pelaku dapat menikmati hasil kejahatan menjadi sangat penting.
Kejahatan terorganisasi
yang paling berbahaya dan sangat berkepentingan untuk mencuci hasil kejahatan
mereka pada awalnya hanya kejahatan perdagangan ilegal narkotika dan substansi
psikotropika. Maka kriminalisasi pencucian uang semula hanya diarahkan untuk
memberantas perdagangan narkotika dan sejenisnya seperti yang tercantum dalam United
Nation Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs and Psychotropic
Substances of 1988 (The Vienna Convention).
Pemikiran tentang berbahayanya
praktik pencucian uang dan strategi pemberantasannya, sebetulnya di awali dengan
kegagalan internasional dalam upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius dengan
segala jenisnya. Sebenarnya di sinilah merupakan awal ispirasi yang pada akhirnya
melahirkan istilah Money Laundering pada tahun 1986 (USA) dan kemudian dipakai
secara internasional. Namun sebenarnya istilah Money Laundering dalam
artian hukum digunakan pertama kali oleh pengadilan Amerika berkaitan dengan
putusan tentang penyitaan atas hasil kejahatan narkotika yang dilakukan oleh
warga Columbia.
Dalam
kaitannya bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana di bidang ekonomi (economic
crimes), yang pada intinya memberikan gambaran terdapat hubungan langsung
bahwa gejala kriminalitas merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan
ekonomi. Selain itu pula adanya fenomena bahwa kejahatan pencucian uang bukan
permasalahan nasional semata tetapi berdimensi regional maupun internasional (transnasional)
sehingga sangat penting untuk ditempatkan pada suatu sentral pengaturan.
Hampir semua
kejahatan ekonomi dilakukan dengan motivasi mendapatkan keuntungan, maka salah
satu cara untuk membuat pelaku jera atau mengurangi tindak pidana yaitu dengan
memburu hasil kejahatan agar pelaku tidak dapat menikmatinya dan akhirnya
diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan juga sirna:“this was
ineffective and thus asset forfeiture was viewed as the key tocombating such
crime. If the criminal is prevented from enjoying the fruits ofhis labor than
these motivations for committing a crime that also disappears”.[9]
Berkembangnya
modus dalam praktik pencucian uang serta meningkatnya jumlah uang yang diproses
ilegal ini tidak terlepas dari pengaruh globalisasi dalam segala aspek kehidupan.
Globalisasi tidak saja memacu aktifitas ekonomi transnasional secara sah,tetapi
juga memicu aktifitas ekonomi yang ilegal. Munculnya jaringan informasi, komunikasi,
transportasi dan global, tidak saja mengijinkan para pelaku
bisnis untuk mengadopsi berbagai aspek organisasi dan operasionalisasi menejmen
internasional, tetapi secara negatif digunakan pula oleh para pelaku kejahatan.
Pelaku kejahatan
mengeksploitasi globalisasi ekonomi sedemikian rupa dengan memanfaatkan
kemajuan sistem informasi, teknologi dan komunikasi yang digunakan lembaga
keuangan untuk transfer uang dengan cepat dan mudah serta hampir tidak meninggalkan
jejak sama sekali. Muncul lah apa yang dinamakan Megabyte Money dalam bentuk
simbol pada layar komputer (computer screen), yang bekerja 24 jam
sehari, 7 hari seminggu, dan dapat dipindahkan lagi dari waktu ke waktu agar
tidak dapat dipantau olehpetugas penegak hukum. Hal ini memunculkan terjadinya
dinamika perputaran keuangan dalam dunia maya (cyber), uang tidak lagi
dapat diraba tetapi hanya dapat dilihat dalambentuk data. Keterlibatan dan
penggunaan Hightechnology dalam dunia maya oleh parapelaku pencucian
uang inilah yang memunculkan fenomena Cyber Laundering yang sangat berbahaya
karena sulitnya untuk dilacak. Kejahatan ini merupakan kejahatan
keuangan yang bersifat lintas batas yang sering kali menggunakan teknologi
tinggi yang mutakhir dan dampaknya sangat merugikan keuangan nasional maupun
global.
Alasan mengapa
pencucian uang harus diberantas antara lain dari aspek kerugian yang
ditimbulkan dan dampaknya pada perkembangan Organized
Crimes. Selain itu pada United
Nations Congress on The Prevention of Crime and Treatment of Offenders, Cairo 1995,
jelas ditegaskan bahwa terdapat 17 kejahatan serius yang harus diwaspadai dan pencucian
uang dikatagorikan sebagai yang paling berbahaya. Selain itu ditengarai adanya
aliran dana sindikat kejahatan yang mempengaruhi perkembangan perbankan dan pasar
modal internasional dalam satu dekade terakhir sehingga mendorong untuk dilakukannya
kebijakan internasional dalam pemberantasan pencucian uang. Kejahatan ini
merupakan kejahatan keuangan yang bersifat lintas batas yang sering kali menggunakan
teknologi tinggi yang mutakhir dan dampaknya sangat merugikan keuangan nasional
maupun global.[10]
Bagi pelaku, praktik
pencucian uang dipandang sebagai suatu aktifitas ekonomi ilegal dan sangat
menguntungkan serta hanya melibatkan orang tertentu dan transaksi tertentu yang
biasanya tidak meninggalkan bukti fisik serta tidak menimbulkan korban individu.
Pada akhirnya ditangkap
suatu makna bahwa tidak mudah untuk memberantas kejahatan pencucian uang,
karena ciri dari kejahatan ini yang sulit dilacak, tidak ada bukti tertulis,
tidak kasat mata. Selain itu dilakukan dengan cara yang rumit, karena
didukung oleh teknologi yang canggih yang pada akhirnya menjadikan kejahatan
pencucian uang bersifat sophisticated crimes. Kesulitan pemberantasan
akan semakin meningkat manakala kejahatan pencucian uang berubah sifatnya
sebagai cyber crimes (cyberlaundering) dengan menggunakan offshore
banking (crimes)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil pembahasan yang terdapat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Tindak
pidana pencucian uang adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang
dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang
berasal dari tindak pidana, tindak pidana pencucian uang juga merupakan tindak
pidana asal (Predicate Offence) yang berdiri sendiri. Tindak pidana pencucian
uang juga termasuk dalam kejahatan jenis White
Colar Crimes (Kejahatan kerah
putih), yang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang status sosialnya menengah
keatas.
2. Faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya praktik Money
Loundering, dan yang paling berpengaruh adalah faktor globalisasi, ekonomi
dan kemajuan teknologi yang pesat. Tidak hanya itu, ada juga beberapa faktor
lain yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya dan menyebabkan praktik
pencucian uang marak terjadi di berbagai Negara.
3. Secara umum, tujuan dilakukannya pemberantasan tindak
pidana pencucian uang yaitu karena tindak pidana ini dapat merusak stabilitas
perekonomian negara dan agar orang yang melakukan atau pelaku tindak pidana pencucian
uang
tidak bisa menikmati hasil
kejahatannya itu. Praktik pencucian uang dipandang sebagai
suatu aktifitas ekonomi ilegal dan sangat menguntungkan serta hanya melibatkan
orang tertentu dan transaksi tertentu yang biasanya tidak meninggalkan bukti fisik
serta tidak menimbulkan korban individu.
B.
Saran
1. Penegakan hukum terhadap kasus dugaan pencucian uang sampai saat
ini relatif sedikit yang sampai di pengadilan. Dari sisi penegak hukum
Indonesia masih banyak menghadapi kendala, misalnya antara PPATK dan kepolisian
nampaknya belum bisa bekerja secara simultan. Dalam praktek di lapangan sering
terjadi ketidak harmonisan dalam menjalankan masing-masing peran sehingga dapat
merugikan penegakan UUTPPU itu sendiri. Misalnya belum ada kesamaan persepsi
antara PPATK dan polisi tentang transaksi yang mencurigakan, kemudian antara
polisi dan jaksa pun nampaknya masih muncul persepsi yang berbeda sehubungan dengan
telah terjadinya pencucian uang.
2. Pada
akhirnya ditangkap suatu makna bahwa tidak mudah untuk memberantas kejahatan pencucian uang, karena ciri
dari kejahatan ini yang sulit dilacak (untraceable crime), tidak ada
bukti tertulis (paperless crime), tidak kasat mata (discernible crime)
selain itu dilakukan dengan cara yang rumit (inticrate crime), karena
didukung oleh teknologi yang canggih yang pada akhirnya menjadikan kejahatan
pencucian uang bersifat Sophisticated Crimes.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Sutan Remi Sjahdeni, 2004, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Pembiayaan Terorisme, Grafiti.
Peraturan Perundang-Undang
Undang-Undang
No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang
Makalah-Makalah
Hasyim Sahfi, Makalah, Pengaruh Pencucian Uang Terhadap Pasar Modal.
Iskandar Ilham, Makalah, Sejarah Dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Nurhayati
Idris, Makalah, Transaksi Transaksi
Keuangan Yang Mencurigakan.
Sudiharsa, Makalah,
Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang
di Indonesia.
Yunus Husein.
Makalah, Upaya Pemberantasan Pencucian
Uang
Jurnal dan Situs Internet
Andrew Haynes, 1993, Money
Laundering and Changes in International Banking Regulations, J.Int’lBanking Law.
Nurmalawaty S.H, 2006, Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana
Pencucian Uang (Money Laundering) Dan Upaya Pencegahannya, Jurnal Equality
Vol. 11, Universitas Sumatera Utara.
[1]Nurhayati Idris, Makalah, Transaksi Transaksi Keuangan Yang
Mencurigakan, hlm 1
[2]http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/MoneyLaundring.pdf
[3]Sudiharsa, Makalah, Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang di
Indonesia, hlm 4
[4] Sutan Remi Sjahdeni, 2004, Seluk Beluk Tindak Pidana
Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Grafiti
[5]Iskandar
Ilham, Makalah, Sejarah Dan Tahapan
Tindak Pidana Pencucian Uang, hlm 6
[6]Nurmalawaty SH, 2006. Faktor
Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang ( Money Laundering ) Dan Upaya
Pencegahannya, Jurnal Equality Vol.11. No.1
Universitas Sumatera Utara, hlm 14
[7] Ibid hlm 14-15
[8]Hasyim Sahfi, Makalah, Pengaruh Pencucian Uang Terhadap Pasar Modal,
hlm 4
[9]Andrew
Haynes, 1993, Money Laundering and
Changes in International Banking Regulations, J.Int’lBanking Law, hlm 454
[10] Yunus Husein, Makalah, Upaya Pemberantasan Pencucian Uang, hlm
6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar