Senin, 13 April 2020

ILUSTRASI DAN PANDANGAN PENEGAKAN HUKUM DIMASA PANDEMI COVID-19

[Oleh : ANGGI DWI PUTRA, S.H]

Perintah kapolri melalui surat telegram dapat dipahami sebagai kebutuhan dalam mendukung upaya pemerintah melawan Covid-19, utamanya penanganan kejahatan potensial dalam masa penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dalam masa penerapan PSBB, Kapolri menunjukkan keseriusannya dengan memerintahkan jajarannya untuk menindak potensi kejahatan pasca pengumuman kedaruratan kesehatan dan pembatasan sosial berskala besar oleh pemerintah. Saat ini Perintah Kapolri tersebut secara letterlijk menjadi pemahaman jajaran kepolisian, misalnya Kapolda Metrojaya dalam pernyataannya dikutip oleh Media detikcom 9 April 2020, yang menurutnya “ada beberapa ketentuan pidana yang bias diterapkan kepada masyarakat seperti UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan kesehatan…”. Dalam keadaan seperti ini, institusi Kepolisian terkesan tidak memahami bahwa PSBB itu diatur hanya dalam UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan kesehatan, sehingga penerapan pidana terhadap pelanggaran PSBB tidak relevan lagi menggunakan ketentuan pidana yang diatur dalam UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan/atau UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana lagi.
Meskipun menjadi opsi terakhir, penegakan hukum memang sudah sepatutnya diterapkan pada situasi wabah Covid-19. Penegakan hukum tentu saja untuk menggapai kedisiplinan dan ketertiban masyarakat dengan memanfaatkan efek hukum sebagai tool of sosial engineering sebagaimana pendapat Roscoe Pound yang menyatakan hukum dapat berfungsi melakukan rekayasa masyarakat agar tingkah laku atau pola-pola yang ada didalam masyarakat sesuai dengan hukum.
Yang banyak menjadi sorotan masyarakat adalah arahan Kapolri melalui surat telegram ketiga terkait penanganan kejahatan di ruang siber. Sebagai penegak hukum langkah Polri untuk mengurangi penyebaran hoax dengan penerapan pasal 14 dan 15 UU No. 1 tahun 1946, dapat diacungi jempol. Akan tetapi disisi lain, ancaman menerapkan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa umum, ditakutkan hanya sebagai upaya Polri sebagai tameng melindungi pemerintah dari kritikan tajam rakyat dalam upaya mengatasi wabah Covid-19. Pada saat yang sama kebebasan berpendapat rakyat dijamin oleh konstitusi Pasal 28 UUD 1945.
Pada situasi abnormal akibat Covid-19 ini, Kapolri terkesan abai dengan kondisi psikologi rakyat Indonesia yang juga menginginkan keadaan kembali normal. Pemerintah jangan baper, sepanjang kritikan tersebut konstruktif tentu tidak boleh dianggap sebagai suatu hal yang hina dan menistakan penguasa. Ketika pemerintah keliru, maka wajar saja rakyat marah, kemudian mengkritik. Ketika kemudian kritikan itu dianggap sebagai kejahatan, maka secara tidak langsung kejahatan itu buah dari pemerintah sendiri. Sesuai dengan pendapat aliran bio sosiologis kriminal, E. Feri yang menyatakan kejahatan itu adalah hasil dari faktor-faktor individual dan sosial.
Meski menuai pro dan kontra, sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum maka pendekatan represif sebagai ultimum remidium juga tetap dibutuhkan. Law enforcement menjadi salah satu upaya sosial kontrol pada situasi dimana kehidupan masyarakat terganggu dengan wabah Covid-19, yang diperparah dengan beban sosial ekonomi dan psikologi yang dihasilkan dari penerapan kebijakan PSBB yang membatasi pergerakan masyarakat dan memaksa harus tinggal dirumah. Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, dapat memaklumi upaya pemerintah menerapkan PSBB sebagai bagian dari pelaksanaan kekarantinaan kesehatan mencegah penyebaran Covid-19. Yang tidak boleh dilupakan, penerapan PSBB membawa pengaruh signifikan bagi masyarakat Indonesia yang berpenghasian harian, dan tidak dapat dipungkiri kondisi ini membuat mereka menjadi sangat dilematis.

Penyelesaian Dan Langkah Penegakan Hukum.

Banyak kalangan menilai, arahan kapolri melalui surat telegram tersebut, dalam konteks penegakan hukum dimasa pandemi ini kontra produktif dengan kebijakan pemerintah. Misalnya dengan kebijakan Menkumham untuk melepaskan narapidana / anak untuk mencegah penularan Covid-19 dalam kondisi lapas yang overcapacity, berkebalikan kapolri malah terkesan berkeinginan memenuhi penjara pada situasi Covid-19.
Dengan mengedepankan niat demi kemaslahatan bersama, institusi Polri tetap harus bertindak secara humanis tanpa mengurangi profesionalisme dan menjunjung tinggi hak azasi manusia (HAM). “Rakyat sedang susah. Psikologis masyarakat, bukan hanya di Jakarta, sedang tertekan oleh penyebaran virus Corona. Oleh sebab itu, aparat yang bertugas di lapangan harus mengedepankan langkah persuasif dan humanis. Ketegasan harus ditunjukkan sebagai bukti nyata kehadiran negara, tetapi prinsip profesional, modern, dan terpercaya juga mesti dipertahankan”.
Untuk itu, alih-alih melakukan pendekatan hukum represif, ada baiknya penegak hukum lebih mengutamakan hukum restitusif. Kebijakan penanggulangan kejahatan (Criminal policy), harus diarahkan pada pencegahan dan mengembalikan keadaan semula seperti sebelum terjadinya pelanggaran. Meskipun tidak menutup ruang, penegakan represif tersebut dilakukan khususnya kejahatan terhadap ketertiban umum (public order crime).
Secara holistik, pemerintah secara institusi harus extra hati-hati dalam mengambil sikap terkait situasi Covid-19. Setiap upaya dan langkah yang diambil masing-masing lembaga negara ditujukan dalam rangka menyelamatkan rakyat tanpa terkecuali. Dibutuhkan upaya komprehensif sistematis dari pengambil kebijakan negara dengan pola integratif dan interkonektif dalam mengatasi wabah Covid-19 ini. Tidak ada toleransi terhadap kesalahan, maupun kebijakan yang kontra produktif antara satu dengan yang lainnya.

Akhir kata “Mari Tong tuntaskan hal luar biasa, dengan cara-cara yang luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENGENAL REKAM JEJAK DIGITAL KITA DI INTERNET

Anggi Dwi Putra, SH Dunia digital memiliki jangkauan yang luas, tidak terbatas ruang dan waktu, mudah diterima serta dibagikan. Jika dahulu ...