![]() |
[Oleh : ANGGI DWI PUTRA, S.H] |
Perintah kapolri melalui surat telegram dapat dipahami sebagai
kebutuhan dalam mendukung upaya pemerintah melawan Covid-19, utamanya
penanganan kejahatan potensial dalam masa penerapan Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB). Dalam masa penerapan PSBB, Kapolri menunjukkan keseriusannya
dengan memerintahkan jajarannya untuk menindak potensi kejahatan pasca
pengumuman kedaruratan kesehatan dan pembatasan sosial berskala besar oleh
pemerintah. Saat ini Perintah Kapolri tersebut secara letterlijk menjadi
pemahaman jajaran kepolisian, misalnya Kapolda Metrojaya dalam pernyataannya
dikutip oleh Media detikcom 9 April 2020, yang menurutnya “ada beberapa
ketentuan pidana yang bias diterapkan kepada masyarakat seperti UU No. 4 tahun
1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan
kesehatan…”. Dalam keadaan seperti ini, institusi Kepolisian terkesan tidak
memahami bahwa PSBB itu diatur hanya dalam UU No. 6 tahun 2018 tentang
Kekarantinaan kesehatan, sehingga penerapan pidana terhadap pelanggaran PSBB
tidak relevan lagi menggunakan ketentuan pidana yang diatur dalam UU No. 4
tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan/atau UU No. 24 tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana lagi.
Meskipun menjadi opsi terakhir, penegakan hukum memang sudah
sepatutnya diterapkan pada situasi wabah Covid-19. Penegakan hukum tentu saja
untuk menggapai kedisiplinan dan ketertiban masyarakat dengan memanfaatkan efek
hukum sebagai tool of sosial engineering sebagaimana pendapat Roscoe Pound yang
menyatakan hukum dapat berfungsi melakukan rekayasa masyarakat agar tingkah
laku atau pola-pola yang ada didalam masyarakat sesuai dengan hukum.
Yang banyak menjadi sorotan masyarakat adalah arahan Kapolri
melalui surat telegram ketiga terkait penanganan kejahatan di ruang siber.
Sebagai penegak hukum langkah Polri untuk mengurangi penyebaran hoax dengan
penerapan pasal 14 dan 15 UU No. 1 tahun 1946, dapat diacungi jempol. Akan
tetapi disisi lain, ancaman menerapkan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan
terhadap penguasa umum, ditakutkan hanya sebagai upaya Polri sebagai tameng
melindungi pemerintah dari kritikan tajam rakyat dalam upaya mengatasi wabah
Covid-19. Pada saat yang sama kebebasan berpendapat rakyat dijamin oleh
konstitusi Pasal 28 UUD 1945.
Pada situasi abnormal akibat Covid-19 ini, Kapolri terkesan abai
dengan kondisi psikologi rakyat Indonesia yang juga menginginkan keadaan
kembali normal. Pemerintah jangan baper, sepanjang kritikan tersebut
konstruktif tentu tidak boleh dianggap sebagai suatu hal yang hina dan
menistakan penguasa. Ketika pemerintah keliru, maka wajar saja rakyat marah,
kemudian mengkritik. Ketika kemudian kritikan itu dianggap sebagai kejahatan,
maka secara tidak langsung kejahatan itu buah dari pemerintah sendiri. Sesuai
dengan pendapat aliran bio sosiologis kriminal, E. Feri yang menyatakan
kejahatan itu adalah hasil dari faktor-faktor individual dan sosial.
Meski menuai pro dan kontra, sebagai negara yang menjunjung tinggi
hukum maka pendekatan represif sebagai ultimum remidium juga tetap dibutuhkan. Law enforcement menjadi salah satu upaya
sosial kontrol pada situasi dimana kehidupan masyarakat terganggu dengan wabah
Covid-19, yang diperparah dengan beban sosial ekonomi dan psikologi yang
dihasilkan dari penerapan kebijakan PSBB yang membatasi pergerakan masyarakat
dan memaksa harus tinggal dirumah. Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, dapat
memaklumi upaya pemerintah menerapkan PSBB sebagai bagian dari pelaksanaan
kekarantinaan kesehatan mencegah penyebaran Covid-19. Yang tidak boleh
dilupakan, penerapan PSBB membawa pengaruh signifikan bagi masyarakat Indonesia
yang berpenghasian harian, dan tidak dapat dipungkiri kondisi ini membuat
mereka menjadi sangat dilematis.
Penyelesaian Dan Langkah Penegakan Hukum.
Banyak kalangan menilai, arahan kapolri melalui surat telegram
tersebut, dalam konteks penegakan hukum dimasa pandemi ini kontra produktif
dengan kebijakan pemerintah. Misalnya dengan kebijakan Menkumham untuk
melepaskan narapidana / anak untuk mencegah penularan Covid-19 dalam kondisi
lapas yang overcapacity, berkebalikan
kapolri malah terkesan berkeinginan memenuhi penjara pada situasi Covid-19.
Dengan mengedepankan niat demi kemaslahatan bersama, institusi
Polri tetap harus bertindak secara humanis tanpa mengurangi profesionalisme dan
menjunjung tinggi hak azasi manusia (HAM). “Rakyat
sedang susah. Psikologis masyarakat, bukan hanya di Jakarta, sedang tertekan
oleh penyebaran virus Corona. Oleh sebab itu, aparat yang bertugas di lapangan
harus mengedepankan langkah persuasif dan humanis. Ketegasan harus ditunjukkan
sebagai bukti nyata kehadiran negara, tetapi prinsip profesional, modern, dan
terpercaya juga mesti dipertahankan”.
Untuk itu, alih-alih melakukan pendekatan hukum represif, ada
baiknya penegak hukum lebih mengutamakan hukum restitusif. Kebijakan
penanggulangan kejahatan (Criminal policy),
harus diarahkan pada pencegahan dan mengembalikan keadaan semula seperti
sebelum terjadinya pelanggaran. Meskipun tidak menutup ruang, penegakan
represif tersebut dilakukan khususnya kejahatan terhadap ketertiban umum (public order crime).
Secara holistik, pemerintah secara institusi harus extra hati-hati
dalam mengambil sikap terkait situasi Covid-19. Setiap upaya dan langkah yang
diambil masing-masing lembaga negara ditujukan dalam rangka menyelamatkan
rakyat tanpa terkecuali. Dibutuhkan upaya komprehensif sistematis dari
pengambil kebijakan negara dengan pola integratif dan interkonektif dalam
mengatasi wabah Covid-19 ini. Tidak ada toleransi terhadap kesalahan, maupun
kebijakan yang kontra produktif antara satu dengan yang lainnya.
Akhir kata “Mari Tong
tuntaskan hal luar biasa, dengan cara-cara yang luar biasa.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar