A.
Pendahuluan

B.
Mahkamah Konstitusi
Perkembangan
pengaturan hak asasi manusia di Indonesia telah dipengaruhi oleh perubahan politik setelah kejatuhan Presiden Soeharto
tahun 1998. Sidang Istimewa MPR bulan November 1998, misalnya, menghasilkan
Ketetapan No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan disusul dengan penerbitan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan lebih
ekstensif tentang hak asasi manusia dicantumkan pula dalam Perubahan Ketiga Undang-undang
Dasar 1945 (tahun 2000), meskipun terdapat kemiripan rumusan antara hasil
amandemen konstitusi dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Ketetapan No.
XVII/MPR/1998. Menurut Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, negara berkewajiban
untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi hak asasi manusia (rumusan
yang dalam instrumen interasional dirumuskan sebagai kewajiban to protect, to
promote, to implement or enforce and to fulfill human rights). Bagaimana hak
asasi manusia ditegakkan di hadapan ancaman-ancaman kekuasaan yang tak perlu dan
berlebihan, apa lagi yang bersalah-guna (corrupt)? Dalam kaitan ini penting
pula untuk memeriksa mekanisme penyampaian
keluhan public (public complaints procedure ). Peradilan administrasi/tata-usaha
Negara peradilan di bawah Mahkamah Agung (MA), peradilan hak asasi manusia
komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) maupun pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada
dasarnya, secara strict wewenang Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap
konstitusi merupakan uji
konstitusionalitas sehingga dikenal
sebagai constitutional review. Dalam
pelaksanaannya di Indonesia, dan berbagai negara, uji konstitusionalitas
itu disandarkan kepada suatu alas hak (legal standing) bahwa undang-undang yang
diuji telah merugikan hak dan/atau wewenang
konstitusional pemohon constitutional review. Rumusan ini perlu sedikit dijelaskan. Pertama, dirumuskan
sebaga “hak dan atau wewenang”. Wewenang
konstitusional lebih terkait
dengan kewenangan lembaga negara
yang berhak pula
untuk memohon constitutional review terhadap undang-undang dalam
hal suatu undang-undang dinilai
bertentangan dengan konstitusi
(dalam hal ini menyangkut kewenangan lembaga
negara pemohon pengujian).445 Kedua, hak
konstitusional lebih dekat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia bagi
warga negara. Sudut pandang kedua ini akan dibahas lebih lanjut.
Secara
kategoris, jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 mencakup hak-hak
sosial-politik, hak-hak kultural dan ekonomi, hak-hak kolektif, hak atas pembangunan
dan lain-lain. Jaminan hak
asasi manusia dalam
UUD RI tersebar dalam sejumlah
pasal antara lain
18B (2), 26,
27-28, 28A-28J (Bab
XA), 29 (Bab Agama), 31-32 (Bab Pendidikan dan Kebudayaan), 33-34
(Bab Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial), 30(Bab Pertahanan dan Keamanan). Jadi, pengaturan konstitusional
mengenai hak asasi manusia tidak terbatas pada Bab XA tentang HAM.
Di sini
perlu diberikan catatan tentang
perumusan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pertama, pada
umumnya hak tersebut dirumuskan sebagai hak setiap orang atau individual
rights. Hanya beberapa
hak saja yang
dirumuskan sebagai hak warga
negara, misalnya tentang
kesempatan yang sama dalam pemerintahan, hak dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara, dan hak memperoleh pendidikan (berturut-turut lihat Pasal 28D
ayat (3), Pasal 30 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945).
Kedua, perbedaan perumusan ini membawa implikasi.
Perumusan hak asasi manusia sebagai hak perseorangan (individual) berarti
memberi peluang untuk dijamin dalam
sistem hukum manapun
(berdasarkan prinsip universalitas hak
asasi manusia), meskipun peluang
ini dapat terhalang
oleh ketentuan prosedural
hukum acara yang hanya memberi akses peradilan nasional
kepada warga negara. Di sisi lain, perumusan hak-hak konstitusional sebagai hak
warga negara hanya terbatas bagi warga negara yang bersangkutan (bukan sebagai
hak semua orang).
Ketiga, meskipun dirumuskan sebagai
hak asasi manusia
tetapi pelaksanaan hak
konstitusional tertentu memang terkait dengan hubungan konstitusional
(constitutional and political relations) pemegang hak yang bersangkutan dengan
konstitusi dan negara. Ini mencakup,
misalnya, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama (equal opportunity and treatment)
di muka pemerintahan. Sebagai hak
asasi manusia, hak seperti ini hanya dapat dipenuhi kepada warga negara. Begitu
pula, “hak konstitusional” untuk menikmati kewajiban negara dalam menyediakan
anggaran pendidikan sebesar 20 persen
dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara) maupun APBD
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), merupakan hak warga negara
(perhatikan bahwa besaran anggaran
merupakan pilihan politik
dan hanya beberapa
negara yang menentukan besaran
tersebut).
Dalam konteks pemahaman di atas, beberapa hak telah secara
meyakinkan ditegakkan (dalam
arti dikabulkan) melalui Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian
undang-undang. Beberapa contoh
dikemukakan di sini.446 Pertama, hak politik eks-PKI dan tahanan politik
untuk menyalonkan diri sebagai anggota
legislatif dalam Putusan No.
11-017/PUU-I/2003
(pengujian UU No.
12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD). Kedua, hak sipil
berupa larangan penerapan Undang-Undang Anti Terorisme 2001 secara retroaktif
dalam Putusan No.
013/PUU-I/2003 (pengujian UU
No. 16 Tahun 2003
tentang Penetapan Perpu
No. 2 Tahun 2002
tentang Pemberlakuan Perpu
No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk
kasus Bom Bali). Hak yang
ditegakkan melalui putusan
merupakan hak yang
secara konstitusional termasuk
kategori “tak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun”.
Ketiga,
dalam kaitan ini perlu disebut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006 (pengujian UU No. 27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Dua hal
yang kontradiktif perlu
dicermati dari putusan
ini. Pembatalan ketentuan pemberian amnesti
terhadap pelanggaran berat
hak asasi manusia (gross violation of human rights),
yang terdapat dalam UU KKR 2004, memang sesuai dengan rezim hak asasi manusia
internasional. Tetapi, di sisi lain, keberadaan ketentuan tersebut tidak dengan
cukup menjadi dasar
untuk menihilkan keseluruhan UU KKR2004 maupun makna
KKR dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
Keempat,
hak sipil dan politik tentang kebebasan
berpendapat dalam kaitan dengan penghinaan
terhadap kepala negara
di dalam Putusan No. 013-022/PUU- IV/2006 (pengujian Pasal 134,
Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP). Kelima, hak sosial-kultural dalam Putusan
No. 011/PUU-III/2005 (pengujian UU No.
20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan
Nasional). Putusan ini
membatalkan penjelasan UU Sisdiknas 2003
yang menentukan bahwa
anggaran pendidikan sebesar 20 persen dalam APBN dan APBD
dipenuhi secara bertahap. Tidak semua putusan yang dicontohkan di atas
berdampak langsung dalam kenyataan sosiologis, meskipun putusan Mahkamah Konstitusi
bersifat final dan mengikat. Legal efficacy putusan
sering ditentukan dalam putusan
yang bersangkutan, misalnya hak eks-PKI dan
tapol tidak berlaku
meskipun putusan dijatuhkan
sebelum Pemilu 2004,
dan terutama karena terdapat ketentuan bahwa undang-undang yang
diuji tetap berlaku
sebelum dibatalkan dan
dipandang sebagai prinsip bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidak
bersifat retroaktif. Sebagai
lembaga yang diamanatkan
oleh Perubahan Ketiga UUD
1945 (tahun 2001)
dan baru bekerja
sejak akhir tahun
2003, mekanisme nasional
penegakan hak asasi
manusia oleh Mahkamah
Konstitusi masih harus ditunggu kecenderungannya. Selain itu, pengujian undang-undang pun
belum merupakan tradisi
yang mapan dan kehidupan konstitusional yang
baru, pasca amandemen konstitusi,
masih dalam tahap pembentukan.
C. Komisi Nasional HAM
Lembaga nasionalhak asasi manusia merupakan
sebuah badan yang menangani persoalan-persoalan hak asasi manusia, terutama
dalam kerangka memajukan dan melindungi hak asasi manusia.
Secara internasional institusi
ini dimaksudkan sebagai rekan
kerja Komisi HAM PBB di tingkat nasional. Maka, sebagaimana Komisi HAM PBB–
lembaga nasionalhak asasi manusia
merupakan salah satu mekanisme pemajuan/perlindungan hak asasi manusia. Di Indonesia, lembaga
nasional tersebut adalah Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang
pada awal berdirinya dibentuk berdasarkan
Keppres No. 50 tahun 1993 dan dalam Konstitusi tetap berlaku,
sebelum ada putusan yang menyatakan
bahwa undang-undang tersebut
bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.” Argumen nonretroaktif ini tidak sepenuhnya tepat. Semua putusan
pengadilan pada dasarnya berpotensi retroaktif, mengingat perkaranya justru terjadi
lebih dulu. Dalam
konteks berlakunya UU yang
diuji, kerugian dinilai
terjadi sejak berlakunya UU yang bersangkutan
(sebelum dibatalkan olehMK).
Sesungguhnya hal itu lebih merupakan pilihan politik
dan hukum. Kesengajaan memberlakukan bahwa putusan pengujian baru efektif setelah
putusan dijatuhkan, berarti
putusan tersebut tidak
menanggulangi masalah (kerugian konstitusional) yang
sudah timbul sebelum
putusan dijatuhkan. Ini
terkait dengan penerapan
rezim judicial review , apakah
mencakup penanggulangan (legal
remedy) terhadap kerugian
nyata yang telah
diderita pemohon.
Perkembangannya diperkuat
dengan Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Keberadaan
lembaga ini secara
internasional dipandu oleh
Prinsip-prinsip Paris 1991,
mengenai Status dan Fungsi Institusi Nasional untuk Melindungi dan Memajukan Hak Asasi
Manusia. Di dalamnya
mencakup jurisdiksi lembaga,
kemandirian dan luralitas yang
harus tercermin dalam komposisi maupun cara beroperasinya. Baik di ranah
masyarakat sipil maupun di pemerintahan terdapat banyak lembaga yang pekerjaannya menyentuh persoalan
hak asasi manusia,
sama seperti KomisiNasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM). Dengan realitas demikian posisi lembaga nasional hak
asasi manusia harus
berdiri di antara
pemerintah dan masyarakat
sipil, suatu lembaga quasi
pemerintah.
Di satu
pihak meskipun sebuah
lembaga negara, Komnas HAM
tidak menggantikan institusi pengadilan atau
lembaga legislatif
melainkan melengkapi fungsi
tersebut. Di pihak
lain, lembaga ini
harus tetap independen dari
eksekutif maupun lembaga pemerintah lainnya. Sehubungan dengan hal itu pada
pertemuan internasional, lembaga
nasional hak asasi
manusia tidak dapat berbicara atas
nama pemerintahnya. Statusnya dalam
ranah internasional berbeda dengan status pemerintah maupun
organisasi non pemerintah.
Prinsip
independensi juga diatur dalam ketentuan perundang-undangan mengenai hak asasi
manusia yaitu pada
penjelasan Pasal 1
butir 7 Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 yang
menyatakan bahwa: “Komisi
Nasional Hak Asasi
Manusia adalah lembaga mandiri
yang kedudukannya setingkat
dengan lembaga negara
lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan
dan mediasi hak asasi manusia”.
Dalam
hubungan antara pemerintah dan masyarakat sipil Komnas HAM memiliki posisi yang
unik. Meskipun instansi
ini didirikan oleh
Pemerintah/Negara, Komnas
HAM tetap tidak
memihak kepadanya. Demikian pula
dengan masyarakat sipil, Komnas HAM
harus dapat melepaskan diri
dari pengaruh Pemerintah, maupun pengaruh pihak-pihak lain yang
minta perlindungan dan penegakan hak asasinya kepada Komnas HAM.
Prinsip independensi Komnas
HAM memiliki spektrum yang luas. Di
antaranya adalah yang terletak
pada anggota Komnas
HAM itu sendiri.
Komnas HAM membutuhkan anggota
dengan integritas yang
tidak diragukan –yang
dapat bersikap independen terhadap
berbagai kekuasaan terutama
kekuasaan negara. Termasuk
di dalamnya jauh dari adanya konflik kepentingan pribadi. Praktek
anggota Komnas HAM untuk tidak ikut
mengambil keputusan dalam
kasus yang melibatkan
dirinya adalah salah satu bentuk
sikap independen. Di tingkat staf, Prinsip-prinsip Paris yang memuat prinsip-prinsip acuan
bagi lembaga-lembaga Komnas
HAM menyatakan bahwa keterlibatan
pegawai negeri/pejabat pemerintah dalam
instansi sebuah Komnas HAM paling jauh hanya sebagai konsultan. Dengan
demikian, sistem merit harus ditanamkan pada setiap pegawai negeri.
Independensi juga dibutuhkan dalam pengelolaan sumber- sumber daya keuangan.
Basis material yang berada di bawah kendali pemerintah –yang lama terlibat
dalam pelanggaran hak asasi manusia tentu memungkinkan terganggunya
independensi Komnas HAM
terhadap kekuasaan.
Terakhir, untuk menjaga
otonomi komisi secara operasional, Komnas
HAM juga perlu
memiliki kewenangan hukum untuk memaksa kerjasama dengan
pihak lain.
Prinsip
pluralisme. Prinsip-prinsip Paris
menyatakan ”Komposisi lembaga nasional dan
penunjukan
anggota-anggotanya, baik melalui
pemilihan atau cara
lain, harus dilaksanakan sesuai
dengan prosedur yang
memuat semua jaminan
yang diperlukan untuk
memastikan perwakilan yang
beragam dari kekuatan
sosial –yang terlibat dalam pemajuan
dan perlindungan hak asasi manusia.”
Prinsip ini
harus tercermin dalam keanggota
Komnas HAM dengan latar belakang
yang beragam. Keragaman ini penting untuk
menjaga legitimasi publik,
legitimasi politik, independensi dan representasi masyarakat. Anggota Komnas HAM, misalnya
tidak dapat berasal dari mereka yang berlatar belakang aparat negara semata.
Keragaman juga harus
dicerminkan dalam keterwakilan perempuan.
Meski demikian keragaman tidak
dapat menghilangkan kualitas dari anggota yang bersangkutan. Salah satu cara
untuk menjamin keragaman dan kualitas yang baik adalah dengan melakukan proses
pemlihan anggota secara terbuka dan demokratis.
Komnas
HAM dibentuk melalui Keppres No. 50 Tahun 1993. Ia dibentuk dalam konteks
politik dalam negeri dan internasional yang memberi perhatian serius terhadap
persoalan hak asasi manusia. Tekanan internasional (Konferensi
Dunia Hak Asasi Manusia d Jeneva) maupun
nasional (oleh berbagai organisasi
non pemerintah, fragmentasi di
kalangan elit) dan peristiwa Santa Cruz di Timor Leste adalah beberapa faktor
yang mempengaruhi proses pembentukan tersebut. Pembentukan Komnas HAM dapat
dilihat sebagai upaya untuk mengatasi tekanan politik tersebut serta memberi
citra positif pada rezim maupun pribadi Soeharto. Tidak heran jika kemudian
pembentukan itu menuai
berbagai keraguan–khususnya dari lingkungan
aktivis LSM kapasitas Komnas
HAM mempromosikan hak
asasi manusia. Dalam
kenyataan juga tingkat
pelanggaran hak asasi manusia saat itu masih sangat tinggi, meskipun demikian Komnas HAM selama 9 tahun telah
menunjukkan upaya menjaga
kemandirian dari intervensi
pemerintah.
D. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI)
Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) adalah
lembaga independen yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dalam
rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak.
Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (yang selanjutnya akan
disebut dengan penelantaran dan
belum terpenuhinya hak-hak
dasar anak di
Indonesia. Keputusan politik untuk
membentuk KPAI juga
tidak dapat dilepaskan
dari dorongan dunia internasional. Komunistas
internasional menyampikan keprihatinan
mendalam atas kondisi
anak di Indonesia.
Banyaknya kasus pekerja
anak, anak dalam
area konflik, pelibatan anak
dalam konflik senjata
(childs soldier) seperti
yang terjadi di
Aceh, tingginya angka putus
sekolah, busung lapar,
perkawinan di bawah
umur, trafficking, dan lain
sebagainya telah memantik perhatian komunitas internasional untuk menekan
pemerintah Indonesia agar membuat lembaga khusus yang bertugas memantau kondisi
perlindungan anak di Indonesia.
Tekanan
internasional ini
didasari oleh kondisi
bahwa Konvensi tentang
Hak Anak (Convention on the Righs of Child) adalah salah satu instrumen
hak asasi manusia internasional yang paling cepat dan paling banyak
diratifikasi oleh berbagai negara di dunia. Dalam waktu yang sangat dingkat
Konvensi tentang Hak Anak diratifikasi oleh seluruh negara
anggota PBB, hampir
menyamai universalitas Deklarasi
Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM).
Dorongan
komunitas internasional tersebut kemudian
memaksa pemerintah Indonesia di bawah
kepemimpinan Soeharto untuk
mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang mengamanatkan pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesi
(KPAI). Secara teknis, amanat
pembentukan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia
ditindak lanjuti dengan
pembuatan Keputusan
Presiden Nomor 36
Tahun 1990 dan
terakhir dengan Keputusan
Presiden Nomor 77 Tahun 2003.
KPAI terdiri dari 9 orang berupa 1
orang ketua, 2 wakil ketua, 1 sekretaris, dan 5 anggota yang terdiri dari unsur
pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan kelompok
masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.
Salah satu keunikan
KPAI adalah lembaga
ini diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan untuk membentuk kelompok
kerja di masyarakat
dan juga membentuk perwakilan
di daerah yang
keduanya ditetapkan oleh
Ketua KPAI. KPAI bertanggungjawab langsung kepada
Presiden dan masa kenggotaannya adalah selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk satu kali masa jabatan. Mekanisme kerja Komisi Perlindungan
Anak Indonesia didasarkan pada
prinsip pemberdayaan,
kemitraan, akuntabilitas, kredibilitas, efektifitas, dan efisiensi.
D. Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan
Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan
atau sering disingkat sebagai
Komnas Perempuan adalah
sebuah institusi hak asasi
manusia yang dibentuk oleh negara
untuk merespon
isu hak-hak perempuan
sebagai hak asasi manusia, khususnya isu
kekerasan terhadap
perempuan. Karena mandatnya yang
spesifik terhadap isu kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran
hak-hak perempuan maka ada yang mengkategorikan Komnas Perempuan sebagai
sebuah insitusi hak asasi manusia yang
spesifik,453 berbeda dengan
Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM)
yang bersifat lebih
umum mencakupi seluruh
aspek dari hak
asasi manusia.
Komnas Perempuan
didirikan pada tahun
1998 berdasarkan Keputusan
Presiden No. 181 tahun
1998, sebagai jawaban
pemerintah atas desakan
kelompok perempuan terkait dengan
peristiwa yang dikenal
sebagai tragedi Mei
1998--di mana terjadi perkosaan massal terhadap
perempuan etnis Tionghoa
di beberapa
daerah di Indonesia.454 Pada saat itu, negara
dianggap telah gagal memberi perlindungan kepada perempuan korban kekerasan.
Oleh karena itu, negara, dalam hal ini pemerintah yang diwakili oleh Presiden
RI, Habibie, menganggap bahwa negara harus bertanggungjawab kepada korban dan
kemudian melakukan upaya yang
sistematis untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan.
E.
Komisi Ombudsman Nasional (KON)
Penulisan
Komisi Ombudsman Nasional di luar pembagian komisi nasional pada sub-bab C di atas
adalah karena secara
formal, terbentuknya Komisi
Ombudsman Nasional tidak didasari
secara khusus oleh
semangat untuk melindungi, menegakkan dan memenuhi hak-hak
asasi warga negara
Indonesia. Kemunculan Komisi Ombudsman Nasional
lebih didasari oleh
semangat reformasi yang
bertujuan menata kembali perikehidupan berbangsa
dan bernegara serta
dalam rangka melakukan reformasi birokrasi yang telah
mandeg selama puluhan tahun.
Semangat
untuk melakukan reformasi birokrasi inilah yang sangat terasa dan pada saat
dimunculkannya Komisi Ombudsman
Nasional sedang
menjadi pembicaraan
meluas di kalangan
masyrakat. Walaupun tidak
serta merta tujuan
perlindungan hak asasi manusia
tidak ada, namun secar formal
dibentuknya Komisi Ombudsman Nasional lebih dikarenakan tuntutan
reformasi birokrasi.
Buku
ini ditulis dengan
memasukkan Komisi Ombudsman
Nasional ke dalam mekanisme penegakan
hak asasi manusia
nasional, karena secara
substantif aktifitas yang
dikerjakan oleh Komisi Ombudsman Nasional adalah dalam rangka
memastikan tidak adanya pelanggaran hak asasi manusia oleh negara
terutama pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya. Ombudsman Nasional
lebih didasari oleh
semangat reformasi yang
bertujuan menata kembali perikehidupan berbangsa dan
bernegara serta dalam
rangka melakukan reformasi
birokrasi yang telah mandeg selama puluhan tahun.
Semangat untuk melakukan reformasi birokrasi inilah
yang sangat terasa dan pada saat
dimunculkannya Komisi Ombudsman Nasional sedang
menjadi pembicaraan
meluas di kalangan
masyrakat. Walaupun tidak
serta merta tujuan
perlindungan hak asasi manusia
tidak ada, namun
secara formal dibentuknya Komisi
Ombudsman Nasional lebih dikarenakan tuntutan reformasi birokrasi.
Buku
ini ditulis dengan
memasukkan Komisi Ombudsman
Nasional ke dalam mekanisme penegakan
hak asasi manusia
nasional, karena secara
substantif aktifitas yang
dikerjakan oleh Komisi Ombudsman Nasional adalah dalam rangka
memastikan tidak adanya pelanggaran hak asasi manusia oleh negara
terutama pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya.
KOMENTAR PENULIS
Menurut saya mekanisme pertanggung jawaban HAM di
Indonesia ini belum begitu efektif, hal ini dikarenakan bahwa dimana kita
melihat dari mekanisme penegakan hak asasi manusia di Indonesia yang secara detil menyangkut
beberapa institusi yaitu: Mahkaham Konstitusi, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Perempuan dan
Komisi Ombudsman Nasional.
Pertama,
dirumuskan sebaga “hak dan atau wewenang”. Wewenang konstitusional
lebih terkait dengan kewenangan lembaga negara yang berhak
pula untuk memohonconstitutional review terhadap undang-undang dalam hal suatu undang-undang dinilai bertentangan dengan konstitusi (dalam hal ini menyangkut kewenangan lembaga negara pemohon
pengujian).
Kedua, perbedaan perumusan ini membawa implikasi.
Perumusan hak asasi manusia sebagai hak perseorangan (individual) berarti
memberi peluang untuk dijamin dalam sistem
hukum manapun (berdasarkan prinsip
universalitas hak asasi
manusia), meskipun peluang ini
dapat terhalang oleh
ketentuan prosedural hukum
acara yang hanya memberi akses
peradilan nasional kepada warga negara. Di sisi lain, perumusan hak-hak
konstitusional sebagai hak warga negara hanya terbatas bagi warga negara yang
bersangkutan (bukan sebagai hak semua orang).
Ketiga,
tampaknya memang kewenangan Komnas HAM untuk menyelidiki dan memeriksa berbagai
peristiwa yang diduga mengandung pelanggaran hak asasi manusia terbatas pada pemberian rekomendasi. Komnas HAM tidak dapat memaksa ketika berbagai rekomendasi tidak diindahkan
oleh pihak-pihak yang berkaitan. Sesungguhnya sikap-sikap tersebut mencerminkan
masih bercokolnya kultur atau kebijakan rezim lama yang menutup diri atas
koreksi masyakarat. Sikap-sikap yang bertolak belakang dengan dinamika
masyarakat yang ditandai oleh meningkatnya
kesadaran warg akan hak- haknya dan yang menuntut terwujudnya
demokratisasi dan rasa keadilan.
Keempat,
kelemahan yang perlu menjadi perhatian oleh Komnas Perempuan. Komnas Perempuan
dianggap perlu memperkuat pola kerja sama dengan berbagai pihak dan
mengoptimalkan posisi strategi untuk
memimpinupaya pensinergian sumberdaya lembaga negara untuk penghapusan KTP,
sehingga Komnas Perempuan akan memproduksi sebuah mekanisme hak asasi manusia
nasional yang spesifik untuk kekerasan terhadap perempuan.
Kelima,
komisi Ombudsman Nasional di luar pembagian komisi nasional pada sub-bab C
di atas
adalah karena secara
formal, terbentuknya Komisi Ombudsman Nasional tidak didasari
secara khusus oleh
semangat untuk melindungi, menegakkan dan memenuhi hak-hak
asasi warga negara Indonesia. Kemunculan Komisi Ombudsman Nasional lebih didasari oleh semangat reformasi yang bertujuan menata kembali perikehidupan
berbangsa dan bernegara
serta dalam rangka
melakukan reformasi birokrasi yang telah mandeg selama puluhan tahun.
Dari berbagai macam problem-problem yang telah
terurai diatas tersebut maka dapat diartikan bahwa, Hal ini yang menyebabkan
mekanisme pertanggung jawaban HAM di Indonesia menurut saya kurang efektif
sehingga perlu ditinjau kembali mulai dari apa yang telah tertera pada UU No 26
Tahun 2000 tersebut.
KESIMPULAN
Dari berbagai referensi mengenai mekanisme
pertanggung jawaban HAM di Indonesia diatas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa, masih terdapat banyak
kendala-kendala yang yang harus dikoreksi kembali dalam proses penegakan
mekanisme HAM di Indonesia hal ini dikarenakan bahwa dimana kita melihat dari
mekanisme penegakan hak asasi manusia di
Indonesia yang secara detil menyangkut beberapa institusi yaitu: Mahkaham
Konstitusi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Perlindungan Anak
Indonesia, Komisi Nasional Perempuan dan Komisi Ombudsman Nasional.
Dan juga dilihat dari mekanisme kinerja HAM, dalam
penerapannya masih banyak substitansi yang belum mengarah pada UU No 26 Tahun
2000 yang mengatur tentang pengadilan hak asasi manusia. Kemudian terdapat
perbedaan perumusan yang membawa
implikasi. Perumusan hak asasi manusia sebagai hak perseorangan (individual)
berarti memberi peluang untuk dijamin dalam
sistem hukum manapun
(berdasarkan prinsip universalitas hak
asasi manusia), meskipun peluang
ini dapat terhalang
oleh ketentuan prosedural
hukum acara yang hanya memberi akses peradilan nasional
kepada warga negara. Di sisi lain, perumusan hak-hak konstitusional sebagai hak
warga negara hanya terbatas bagi warga negara yang bersangkutan (bukan sebagai
hak semua orang).
Sehingga dari berbagai macam problem-problem yang
telah terurai diatas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa, Hal-hal ini yang
menyebabkan mekanisme pertanggung jawaban HAM di Indonesia menurut saya kurang
efektif sehingga perlu ditinjau kembali mulai dari apa yang telah tertera pada
UU No 26 Tahun 2000 tersebut sehingga dalam penerapannya akan jauh lebih baik
dan terorganisir lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar