Minggu, 05 April 2020

MEKANISME PERTANGGUNG JAWABAN HAM DI INDONESIA


A.  Pendahuluan
Indonesia dengan cepat membangun mekanisme penegakan hak asasi manusia, di samping serangkaian proses legislasi yang telah dilakukan. mekanisme penegakan hak asasi manusia di  Indonesia secara detil menyangkut beberapa institusi yaitu Mahkaham Konstitusi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Perempuan dan Komisi Ombudsman Nasional.

B.  Mahkamah Konstitusi
                  Perkembangan pengaturan hak asasi manusia di Indonesia telah dipengaruhi oleh perubahan   politik setelah kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998. Sidang Istimewa MPR bulan November 1998, misalnya, menghasilkan Ketetapan No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan disusul dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan lebih ekstensif tentang hak asasi manusia dicantumkan pula dalam Perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945 (tahun 2000), meskipun terdapat kemiripan rumusan antara hasil amandemen konstitusi dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Ketetapan No. XVII/MPR/1998. Menurut Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, negara berkewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi hak asasi manusia (rumusan yang dalam instrumen interasional dirumuskan sebagai kewajiban to protect, to promote, to implement or enforce and to fulfill human rights). Bagaimana hak asasi manusia ditegakkan di hadapan ancaman-ancaman kekuasaan yang tak perlu dan berlebihan, apa lagi yang bersalah-guna (corrupt)? Dalam kaitan ini penting pula untuk memeriksa  mekanisme penyampaian keluhan public (public complaints procedure ). Peradilan administrasi/tata-usaha Negara peradilan di bawah Mahkamah Agung (MA), peradilan hak asasi manusia komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) maupun         pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
                  Pada dasarnya, secara strict wewenang Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang   terhadap   konstitusi   merupakan   uji   konstitusionalitas   sehingga   dikenal   sebagai constitutional   review.   Dalam   pelaksanaannya di Indonesia, dan berbagai negara, uji konstitusionalitas itu disandarkan kepada suatu alas hak (legal standing) bahwa undang-undang yang diuji telah  merugikan hak dan/atau wewenang konstitusional pemohon constitutional review. Rumusan ini  perlu sedikit dijelaskan. Pertama, dirumuskan sebaga “hak dan atau wewenang”. Wewenang  konstitusional  lebih   terkait   dengan kewenangan   lembaga   negara   yang   berhak   pula   untuk   memohon  constitutional   review terhadap   undang-undang   dalam   hal   suatu   undang-undang   dinilai   bertentangan   dengan konstitusi (dalam  hal ini menyangkut kewenangan lembaga negara pemohon pengujian).445  Kedua, hak konstitusional lebih dekat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia bagi warga negara. Sudut pandang kedua ini akan dibahas lebih lanjut.
                  Secara kategoris, jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 mencakup hak-hak sosial-politik, hak-hak kultural dan ekonomi, hak-hak kolektif, hak atas   pembangunan   dan   lain-lain. Jaminan   hak   asasi   manusia   dalam   UUD   RI   tersebar dalam   sejumlah   pasal   antara   lain   18B   (2),   26,   27-28,   28A-28J   (Bab   XA),   29   (Bab Agama),      31-32 (Bab Pendidikan dan Kebudayaan), 33-34 (Bab Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial), 30(Bab    Pertahanan dan Keamanan). Jadi, pengaturan konstitusional mengenai hak asasi manusia tidak terbatas pada Bab XA tentang HAM.
                  Di   sini  perlu   diberikan catatan tentang perumusan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pertama, pada umumnya hak tersebut dirumuskan sebagai hak setiap orang atau  individual   rights.   Hanya   beberapa   hak   saja   yang   dirumuskan sebagai  hak   warga  negara,     misalnya tentang kesempatan yang sama dalam pemerintahan, hak dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, dan hak memperoleh pendidikan (berturut-turut lihat Pasal 28D ayat (3), Pasal 30 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945).
                  Kedua,  perbedaan perumusan ini membawa implikasi. Perumusan hak asasi manusia sebagai hak perseorangan (individual) berarti memberi peluang untuk dijamin dalam   sistem   hukum   manapun   (berdasarkan   prinsip   universalitas   hak   asasi   manusia), meskipun   peluang   ini   dapat   terhalang   oleh   ketentuan   prosedural   hukum   acara   yang hanya memberi akses peradilan nasional kepada warga negara. Di sisi lain, perumusan hak-hak konstitusional sebagai hak warga negara hanya terbatas bagi warga negara yang bersangkutan (bukan sebagai hak semua orang).
                  Ketiga,   meskipun dirumuskan   sebagai   hak   asasi   manusia  tetapi pelaksanaan   hak konstitusional tertentu memang terkait dengan hubungan konstitusional (constitutional and political relations) pemegang hak yang bersangkutan dengan konstitusi dan negara. Ini   mencakup, misalnya, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama (equal opportunity and   treatment)  di  muka pemerintahan. Sebagai hak asasi manusia, hak seperti ini hanya dapat dipenuhi kepada warga negara. Begitu pula, “hak konstitusional” untuk menikmati kewajiban negara dalam menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20 persen    dalam    APBN      (Anggaran     Pendapatan      dan   Belanja   Negara) maupun APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), merupakan hak warga negara (perhatikan bahwa   besaran   anggaran   merupakan   pilihan   politik   dan   hanya   beberapa   negara   yang menentukan besaran tersebut).
                   Dalam konteks pemahaman di atas, beberapa hak telah  secara   meyakinkan ditegakkan (dalam   arti  dikabulkan)  melalui Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang.       Beberapa     contoh    dikemukakan      di  sini.446 Pertama,  hak politik eks-PKI dan tahanan politik untuk   menyalonkan diri sebagai anggota legislatif dalam   Putusan   No.   11-017/PUU-I/2003   (pengujian   UU   No.   12   Tahun   2003   tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD). Kedua, hak sipil berupa larangan penerapan Undang-Undang Anti Terorisme 2001 secara   retroaktif   dalam   Putusan   No.  013/PUU-I/2003   (pengujian   UU   No.   16   Tahun 2003   tentang   Penetapan   Perpu   No. 2   Tahun   2002   tentang   Pemberlakuan   Perpu   No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk kasus Bom Bali). Hak yang   ditegakkan     melalui    putusan    merupakan      hak   yang   secara   konstitusional termasuk kategori “tak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun”.
                  Ketiga, dalam  kaitan ini  perlu disebut Putusan  Mahkamah Konstitusi  No. 006/PUU-IV/2006 (pengujian UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Dua   hal   yang   kontradiktif   perlu   dicermati   dari   putusan   ini.   Pembatalan ketentuan     pemberian     amnesti    terhadap    pelanggaran     berat  hak   asasi  manusia (gross violation of human rights), yang terdapat dalam UU KKR 2004, memang sesuai dengan rezim hak asasi manusia internasional. Tetapi, di sisi lain, keberadaan ketentuan tersebut tidak    dengan    cukup    menjadi    dasar   untuk   menihilkan keseluruhan UU KKR2004 maupun makna KKR dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
                  Keempat, hak sipil dan politik  tentang kebebasan berpendapat dalam kaitan dengan penghinaan   terhadap  kepala   negara    di  dalam Putusan No.   013-022/PUU- IV/2006 (pengujian Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP). Kelima, hak sosial-kultural dalam Putusan No. 011/PUU-III/2005 (pengujian UU No.   20   Tahun   2003   tentang   Sistem   Pendidikan   Nasional).   Putusan   ini   membatalkan penjelasan  UU Sisdiknas   2003   yang   menentukan   bahwa   anggaran   pendidikan   sebesar 20 persen dalam APBN dan APBD dipenuhi secara bertahap. Tidak semua putusan yang dicontohkan di  atas  berdampak langsung dalam kenyataan sosiologis,  meskipun putusan Mahkamah   Konstitusi   bersifat   final   dan mengikat. Legal efficacy  putusan   sering     ditentukan  dalam putusan  yang bersangkutan,  misalnya  hak    eks-PKI  dan   tapol    tidak    berlaku    meskipun putusan dijatuhkan   sebelum   Pemilu  2004,    dan   terutama     karena terdapat ketentuan  bahwa undang-undang   yang   diuji   tetap   berlaku   sebelum   dibatalkan   dan   dipandang sebagai prinsip bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidak bersifat retroaktif. Sebagai   lembaga   yang   diamanatkan   oleh Perubahan   Ketiga   UUD   1945   (tahun  2001)   dan   baru   bekerja   sejak   akhir   tahun   2003,   mekanisme   nasional   penegakan   hak asasi   manusia   oleh   Mahkamah   Konstitusi masih harus ditunggu kecenderungannya. Selain itu, pengujian undang-undang   pun   belum   merupakan   tradisi   yang   mapan   dan kehidupan   konstitusional   yang   baru,   pasca amandemen   konstitusi,   masih   dalam   tahap pembentukan.

 C.  Komisi Nasional HAM
                    Lembaga nasionalhak asasi manusia merupakan sebuah badan yang menangani persoalan-persoalan hak asasi manusia, terutama dalam kerangka memajukan dan melindungi hak asasi   manusia.  Secara   internasional   institusi   ini   dimaksudkan sebagai rekan kerja Komisi HAM PBB di tingkat nasional. Maka, sebagaimana Komisi HAM PBB– lembaga  nasionalhak asasi manusia merupakan salah  satu  mekanisme pemajuan/perlindungan  hak asasi manusia. Di Indonesia, lembaga nasional tersebut adalah  Komisi Nasional Hak Asasi  Manusia (Komnas  HAM), yang  pada  awal berdirinya dibentuk berdasarkan Keppres No. 50 tahun 1993 dan dalam Konstitusi tetap   berlaku,  sebelum ada  putusan yang  menyatakan  bahwa   undang-undang    tersebut  bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Argumen nonretroaktif ini tidak sepenuhnya tepat. Semua putusan pengadilan pada dasarnya berpotensi retroaktif, mengingat perkaranya justru  terjadi  lebih  dulu.  Dalam  konteks berlakunya UU yang   diuji,  kerugian  dinilai  terjadi  sejak berlakunya UU yang bersangkutan (sebelum dibatalkan olehMK).    Sesungguhnya hal  itu  lebih merupakan pilihan  politik  dan  hukum. Kesengajaan    memberlakukan     bahwa putusan pengujian baru efektif  setelah  putusan   dijatuhkan,  berarti  putusan  tersebut  tidak  menanggulangi     masalah   (kerugian konstitusional)    yang  sudah   timbul  sebelum    putusan  dijatuhkan.   Ini  terkait  dengan  penerapan   rezim judicial   review ,   apakah   mencakup   penanggulangan   (legal   remedy)   terhadap   kerugian   nyata   yang   telah  diderita pemohon.
Perkembangannya   diperkuat   dengan   Undang-Undang   Nomor   39   Tahun   1999   tentang Hak Asasi Manusia. Keberadaan   lembaga   ini   secara   internasional   dipandu   oleh     Prinsip-prinsip   Paris 1991, mengenai Status dan Fungsi Institusi Nasional untuk Melindungi dan Memajukan Hak  Asasi   Manusia.    Di   dalamnya     mencakup      jurisdiksi   lembaga,    kemandirian     dan luralitas yang harus tercermin dalam komposisi maupun cara beroperasinya. Baik di ranah masyarakat sipil maupun di pemerintahan terdapat banyak lembaga yang     pekerjaannya     menyentuh      persoalan  hak   asasi  manusia,     sama   seperti   KomisiNasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dengan realitas demikian posisi lembaga nasional   hak   asasi   manusia   harus   berdiri   di   antara   pemerintah   dan   masyarakat   sipil, suatu    lembaga  quasi   pemerintah.      
Di  satu   pihak   meskipun     sebuah   lembaga     negara, Komnas       HAM      tidak    menggantikan       institusi   pengadilan     atau  lembaga     legislatif melainkan      melengkapi      fungsi    tersebut.   Di   pihak    lain,  lembaga     ini  harus    tetap independen dari eksekutif maupun lembaga pemerintah lainnya. Sehubungan dengan hal itu   pada   pertemuan   internasional,     lembaga   nasional   hak   asasi   manusia   tidak   dapat berbicara     atas  nama    pemerintahnya.       Statusnya    dalam    ranah   internasional    berbeda dengan status pemerintah maupun organisasi non pemerintah.
                  Prinsip independensi juga diatur dalam ketentuan perundang-undangan mengenai hak   asasi   manusia   yaitu   pada   penjelasan   Pasal   1   butir   7   Undang-Undang   Nomor   39 Tahun   1999   yang   menyatakan   bahwa:   “Komisi   Nasional   Hak   Asasi   Manusia   adalah lembaga   mandiri   yang   kedudukannya   setingkat   dengan   lembaga   negara   lainnya   yang berfungsi   melaksanakan   pengkajian,   penelitian,   penyuluhan,   pemantauan   dan   mediasi hak asasi manusia”.
Dalam hubungan antara pemerintah dan masyarakat sipil Komnas HAM memiliki posisi   yang   unik.   Meskipun   instansi   ini   didirikan   oleh   Pemerintah/Negara,   Komnas HAM       tetap   tidak  memihak      kepadanya.      Demikian     pula   dengan     masyarakat     sipil, Komnas       HAM      harus   dapat    melepaskan     diri   dari  pengaruh     Pemerintah,     maupun pengaruh pihak-pihak lain yang minta perlindungan dan penegakan hak asasinya kepada Komnas HAM.
                  Prinsip   independensi   Komnas   HAM   memiliki   spektrum yang   luas. Di   antaranya adalah     yang   terletak   pada   anggota     Komnas     HAM      itu  sendiri.   Komnas     HAM membutuhkan   anggota   dengan   integritas   yang   tidak   diragukan   –yang   dapat   bersikap independen     terhadap   berbagai    kekuasaan    terutama   kekuasaan     negara.   Termasuk     di dalamnya jauh dari adanya konflik kepentingan pribadi. Praktek anggota Komnas HAM untuk   tidak   ikut   mengambil   keputusan   dalam   kasus   yang   melibatkan   dirinya   adalah salah satu bentuk sikap independen. Di tingkat staf, Prinsip-prinsip Paris yang memuat prinsip-prinsip     acuan    bagi   lembaga-lembaga   Komnas  HAM  menyatakan bahwa keterlibatan pegawai      negeri/pejabat pemerintah dalam instansi sebuah Komnas HAM paling jauh hanya sebagai konsultan. Dengan demikian, sistem merit harus ditanamkan pada setiap pegawai negeri. Independensi juga dibutuhkan dalam pengelolaan sumber- sumber daya keuangan. Basis material yang berada di bawah kendali pemerintah –yang lama terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia tentu memungkinkan terganggunya independensi   Komnas   HAM   terhadap   kekuasaan. 
Terakhir,   untuk  menjaga   otonomi komisi    secara   operasional,   Komnas   HAM     juga  perlu   memiliki   kewenangan      hukum untuk memaksa kerjasama dengan pihak lain.
                   Prinsip     pluralisme.    Prinsip-prinsip     Paris   menyatakan      ”Komposisi     lembaga nasional   dan   penunjukan   anggota-anggotanya,   baik   melalui   pemilihan   atau   cara   lain, harus    dilaksanakan     sesuai   dengan    prosedur    yang    memuat     semua    jaminan    yang diperlukan   untuk   memastikan   perwakilan   yang   beragam   dari   kekuatan   sosial   –yang terlibat dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.”
 Prinsip ini  harus tercermin   dalam  keanggota  Komnas HAM dengan latar belakang     yang   beragam. Keragaman ini  penting untuk  menjaga legitimasi   publik, legitimasi politik, independensi dan representasi   masyarakat. Anggota Komnas HAM, misalnya tidak dapat berasal dari mereka yang berlatar belakang aparat negara semata. Keragaman   juga   harus   dicerminkan   dalam   keterwakilan   perempuan.   Meski   demikian keragaman tidak dapat menghilangkan kualitas dari anggota yang bersangkutan. Salah satu cara untuk menjamin keragaman dan kualitas yang baik adalah dengan melakukan proses pemlihan anggota secara terbuka dan demokratis.
                  Komnas HAM dibentuk melalui Keppres No. 50 Tahun 1993. Ia dibentuk dalam konteks politik dalam negeri dan internasional yang memberi perhatian serius terhadap persoalan hak  asasi  manusia. Tekanan internasional (Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia d Jeneva) maupun     nasional  (oleh berbagai  organisasi   non   pemerintah, fragmentasi di kalangan elit) dan peristiwa Santa Cruz di Timor Leste adalah beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan tersebut. Pembentukan Komnas HAM dapat dilihat sebagai upaya untuk mengatasi tekanan politik tersebut serta memberi citra positif pada rezim maupun pribadi Soeharto. Tidak heran jika kemudian pembentukan itu   menuai   berbagai keraguan–khususnya   dari   lingkungan   aktivis   LSM kapasitas   Komnas   HAM   mempromosikan   hak   asasi   manusia.   Dalam   kenyataan   juga tingkat pelanggaran hak asasi manusia saat itu masih sangat tinggi, meskipun demikian Komnas   HAM selama 9 tahun   telah   menunjukkan upaya menjaga  kemandirian  dari intervensi pemerintah.

D. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
                  Komisi   Perlindungan   Anak   Indonesia   (KPAI)   adalah   lembaga   independen yang dibentuk   berdasarkan   Undang-Undang   Nomor   23   Tahun   2002   tentang   Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak.
                  Komisi  Perlindungan  Anak    Indonesia    (yang   selanjutnya    akan   disebut  dengan penelantaran  dan  belum    terpenuhinya   hak-hak    dasar   anak   di  Indonesia.   Keputusan politik   untuk    membentuk   KPAI  juga  tidak   dapat   dilepaskan    dari   dorongan    dunia internasional.     Komunistas   internasional    menyampikan   keprihatinan   mendalam  atas kondisi   anak   di   Indonesia.   Banyaknya   kasus   pekerja   anak,   anak   dalam   area   konflik, pelibatan    anak   dalam    konflik   senjata  (childs   soldier)   seperti  yang   terjadi  di  Aceh, tingginya  angka   putus   sekolah,   busung   lapar,   perkawinan   di   bawah   umur,   trafficking, dan lain sebagainya telah memantik perhatian komunitas internasional untuk menekan pemerintah Indonesia agar membuat lembaga khusus yang bertugas memantau kondisi perlindungan anak di Indonesia.
                  Tekanan     internasional    ini  didasari  oleh   kondisi   bahwa    Konvensi     tentang   Hak Anak (Convention on the Righs of Child) adalah salah satu instrumen hak asasi manusia internasional yang paling cepat dan paling banyak diratifikasi oleh berbagai negara di dunia. Dalam waktu yang sangat dingkat Konvensi tentang Hak Anak diratifikasi oleh seluruh   negara   anggota   PBB,  hampir    menyamai      universalitas  Deklarasi     Universal    Hak    Asasi   Manusia (DUHAM).
                  Dorongan komunitas internasional  tersebut  kemudian  memaksa   pemerintah Indonesia di  bawah  kepemimpinan  Soeharto  untuk  mengesahkan   Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengamanatkan pembentukan Komisi  Perlindungan Anak    Indonesi  (KPAI). Secara    teknis,  amanat    pembentukan Komisi   Perlindungan   Anak   Indonesia   ditindak   lanjuti   dengan   pembuatan   Keputusan Presiden   Nomor   36   Tahun   1990   dan   terakhir   dengan   Keputusan   Presiden   Nomor   77 Tahun 2003.
                  KPAI terdiri dari 9 orang berupa 1 orang ketua, 2 wakil ketua, 1 sekretaris, dan 5 anggota yang terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi   kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga   swadaya masyarakat, dunia usaha dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.
                  Salah  satu keunikan  KPAI  adalah   lembaga  ini  diperkenankan oleh   peraturan perundang-undangan  untuk membentuk  kelompok    kerja   di  masyarakat   dan  juga membentuk   perwakilan   di   daerah   yang   keduanya   ditetapkan   oleh   Ketua   KPAI.   KPAI bertanggungjawab langsung kepada Presiden dan masa kenggotaannya adalah selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Mekanisme kerja Komisi Perlindungan Anak  Indonesia didasarkan      pada    prinsip    pemberdayaan, kemitraan, akuntabilitas, kredibilitas, efektifitas, dan efisiensi.

D. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
                  Komisi  Nasional Anti  Kekerasan  terhadap  Perempuan  atau sering disingkat sebagai   Komnas   Perempuan   adalah   sebuah   institusi hak   asasi   manusia   yang   dibentuk oleh    negara    untuk    merespon   isu  hak-hak   perempuan   sebagai  hak asasi   manusia, khususnya   isu   kekerasan     terhadap     perempuan.   Karena  mandatnya   yang    spesifik terhadap isu kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak-hak perempuan maka ada    yang    mengkategorikan        Komnas      Perempuan      sebagai    sebuah    insitusi   hak asasi manusia      yang     spesifik,453    berbeda    dengan     Komisi    Nasional     Hak    Asasi   Manusia (Komnas   HAM)   yang   bersifat   lebih   umum  mencakupi   seluruh   aspek   dari   hak   asasi manusia.
                 Komnas   Perempuan   didirikan   pada   tahun   1998   berdasarkan   Keputusan   Presiden No.   181   tahun   1998,   sebagai   jawaban   pemerintah   atas   desakan   kelompok   perempuan terkait    dengan    peristiwa    yang    dikenal    sebagai    tragedi   Mei   1998--di     mana    terjadi perkosaan       massal     terhadap    perempuan   etnis    Tionghoa   di   beberapa  daerah   di Indonesia.454 Pada saat itu, negara dianggap telah gagal memberi perlindungan kepada perempuan korban kekerasan. Oleh karena itu, negara, dalam hal ini pemerintah yang diwakili oleh Presiden RI, Habibie, menganggap bahwa negara harus bertanggungjawab kepada korban dan kemudian melakukan      upaya    yang    sistematis    untuk    mengatasi kekerasan terhadap perempuan.

E.  Komisi Ombudsman Nasional (KON)
                  Penulisan Komisi Ombudsman Nasional di luar pembagian komisi nasional pada sub-bab C di  atas  adalah  karena   secara  formal,   terbentuknya  Komisi  Ombudsman Nasional   tidak   didasari   secara   khusus   oleh   semangat untuk  melindungi,   menegakkan dan    memenuhi  hak-hak    asasi  warga    negara   Indonesia.   Kemunculan  Komisi Ombudsman   Nasional   lebih   didasari   oleh   semangat  reformasi   yang   bertujuan   menata kembali  perikehidupan   berbangsa  dan    bernegara   serta   dalam   rangka    melakukan reformasi birokrasi yang telah mandeg selama puluhan tahun.
                  Semangat untuk melakukan reformasi birokrasi inilah yang sangat terasa dan pada saat dimunculkannya   Komisi     Ombudsman   Nasional     sedang    menjadi     pembicaraan meluas   di   kalangan   masyrakat.   Walaupun   tidak   serta   merta   tujuan   perlindungan   hak asasi    manusia     tidak   ada, namun   secar  formal    dibentuknya   Komisi   Ombudsman Nasional lebih dikarenakan tuntutan reformasi birokrasi.
                    Buku   ini   ditulis   dengan   memasukkan   Komisi   Ombudsman   Nasional   ke   dalam mekanisme   penegakan   hak   asasi   manusia   nasional,   karena   secara   substantif   aktifitas yang dikerjakan oleh Komisi Ombudsman Nasional adalah   dalam rangka  memastikan tidak adanya pelanggaran hak asasi manusia oleh negara terutama pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya. Ombudsman   Nasional   lebih   didasari   oleh   semangat   reformasi   yang   bertujuan   menata kembali      perikehidupan       berbangsa     dan    bernegara     serta   dalam     rangka    melakukan reformasi birokrasi yang telah mandeg selama puluhan tahun.
                    Semangat untuk melakukan reformasi birokrasi inilah yang sangat terasa dan pada saat    dimunculkannya        Komisi     Ombudsman         Nasional     sedang    menjadi     pembicaraan meluas   di   kalangan   masyrakat.   Walaupun   tidak   serta   merta   tujuan   perlindungan   hak asasi    manusia     tidak   ada,   namun     secara    formal    dibentuknya      Komisi     Ombudsman Nasional lebih dikarenakan tuntutan reformasi birokrasi.
                   Buku   ini   ditulis   dengan   memasukkan   Komisi   Ombudsman   Nasional   ke   dalam mekanisme   penegakan   hak   asasi   manusia   nasional,   karena   secara   substantif   aktifitas yang dikerjakan oleh Komisi Ombudsman Nasional adalah   dalam rangka  memastikan tidak adanya pelanggaran hak asasi manusia oleh negara terutama pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya.

KOMENTAR PENULIS

Menurut saya mekanisme pertanggung jawaban HAM di Indonesia ini belum begitu efektif, hal ini dikarenakan bahwa dimana kita melihat dari mekanisme penegakan hak asasi manusia di  Indonesia yang secara detil menyangkut beberapa institusi yaitu: Mahkaham Konstitusi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Perempuan dan Komisi Ombudsman Nasional.
Pertama, dirumuskan sebaga “hak dan atau wewenang”. Wewenang  konstitusional  lebih  terkait   dengan kewenangan  lembaga negara yang   berhak  pula  untuk  memohonconstitutional review terhadap   undang-undang   dalam  hal suatu undang-undang  dinilai  bertentangan dengan konstitusi (dalam  hal ini menyangkut kewenangan lembaga negara pemohon pengujian).
Kedua,  perbedaan perumusan ini membawa implikasi. Perumusan hak asasi manusia sebagai hak perseorangan (individual) berarti memberi peluang untuk dijamin dalam   sistem   hukum   manapun   (berdasarkan   prinsip   universalitas   hak   asasi   manusia), meskipun   peluang   ini   dapat   terhalang   oleh   ketentuan   prosedural   hukum   acara   yang hanya memberi akses peradilan nasional kepada warga negara. Di sisi lain, perumusan hak-hak konstitusional sebagai hak warga negara hanya terbatas bagi warga negara yang bersangkutan (bukan sebagai hak semua orang).
Ketiga, tampaknya memang kewenangan Komnas HAM untuk menyelidiki dan memeriksa berbagai peristiwa yang diduga mengandung pelanggaran hak asasi manusia terbatas pada pemberian    rekomendasi. Komnas HAM tidak dapat  memaksa ketika berbagai rekomendasi tidak diindahkan oleh pihak-pihak yang berkaitan. Sesungguhnya sikap-sikap tersebut mencerminkan masih bercokolnya kultur atau kebijakan rezim lama yang menutup diri atas koreksi masyakarat. Sikap-sikap yang bertolak belakang dengan dinamika masyarakat yang ditandai oleh meningkatnya   kesadaran warg akan hak- haknya dan yang menuntut terwujudnya demokratisasi dan rasa keadilan.
Keempat, kelemahan yang perlu menjadi perhatian oleh Komnas Perempuan. Komnas Perempuan dianggap perlu memperkuat pola kerja sama dengan berbagai pihak dan mengoptimalkan posisi  strategi untuk memimpinupaya pensinergian sumberdaya lembaga negara untuk penghapusan KTP, sehingga Komnas Perempuan akan memproduksi sebuah mekanisme hak asasi manusia nasional yang spesifik untuk kekerasan terhadap perempuan.
Kelima, komisi Ombudsman Nasional di luar pembagian komisi nasional pada sub-bab C di  atas  adalah  karena   secara  formal,   terbentuknya  Komisi Ombudsman Nasional tidak   didasari   secara   khusus   oleh   semangat untuk  melindungi,   menegakkan dan memenuhi  hak-hak  asasi  warga    negara  Indonesia. Kemunculan  Komisi Ombudsman Nasional  lebih didasari oleh semangat   reformasi yang bertujuan   menata kembali  perikehidupan  berbangsa  dan  bernegara  serta   dalam     rangka  melakukan reformasi birokrasi yang telah mandeg selama puluhan tahun.
Dari berbagai macam problem-problem yang telah terurai diatas tersebut maka dapat diartikan bahwa, Hal ini yang menyebabkan mekanisme pertanggung jawaban HAM di Indonesia menurut saya kurang efektif sehingga perlu ditinjau kembali mulai dari apa yang telah tertera pada UU No 26 Tahun 2000 tersebut.

KESIMPULAN

Dari berbagai referensi mengenai mekanisme pertanggung jawaban HAM di Indonesia diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa,  masih terdapat banyak kendala-kendala yang yang harus dikoreksi kembali dalam proses penegakan mekanisme HAM di Indonesia hal ini dikarenakan bahwa dimana kita melihat dari mekanisme penegakan hak asasi manusia di  Indonesia yang secara detil menyangkut beberapa institusi yaitu: Mahkaham Konstitusi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Perempuan dan Komisi Ombudsman Nasional.
Dan juga dilihat dari mekanisme kinerja HAM, dalam penerapannya masih banyak substitansi yang belum mengarah pada UU No 26 Tahun 2000 yang mengatur tentang pengadilan hak asasi manusia. Kemudian terdapat perbedaan perumusan yang  membawa implikasi. Perumusan hak asasi manusia sebagai hak perseorangan (individual) berarti memberi peluang untuk dijamin dalam   sistem   hukum   manapun   (berdasarkan   prinsip   universalitas   hak   asasi   manusia), meskipun   peluang   ini   dapat   terhalang   oleh   ketentuan   prosedural   hukum   acara   yang hanya memberi akses peradilan nasional kepada warga negara. Di sisi lain, perumusan hak-hak konstitusional sebagai hak warga negara hanya terbatas bagi warga negara yang bersangkutan (bukan sebagai hak semua orang).
Sehingga dari berbagai macam problem-problem yang telah terurai diatas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa, Hal-hal ini yang menyebabkan mekanisme pertanggung jawaban HAM di Indonesia menurut saya kurang efektif sehingga perlu ditinjau kembali mulai dari apa yang telah tertera pada UU No 26 Tahun 2000 tersebut sehingga dalam penerapannya akan jauh lebih baik dan terorganisir lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENGENAL REKAM JEJAK DIGITAL KITA DI INTERNET

Anggi Dwi Putra, SH Dunia digital memiliki jangkauan yang luas, tidak terbatas ruang dan waktu, mudah diterima serta dibagikan. Jika dahulu ...