Bismillahirrahmanirrahim..
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT tuhan semesta alam yang
telah memberikan rahmat berupa kesehatan dan kesempatan pada saya sehingga
makalah singkat ini dapat diselesaikan pada waktu yang telah di tentukan. Tak
lupa pula salawat serta salam saya panjatkan pada junjungan nabi besar kita
Nabi muhammad SAW, yang telah memperjuangkan nasib umat manusia dari alam
bar-baria ke alam yang lebih islami.
Makalah dengan judul “Hukum Kepailitan” ini adalah merupakan
tulisan sederhana yang saya buat dengan segala keterbatasannya yaitu referensi
dan data untuk menunjang bahan materi makalah ini. Sehingga masukan berupa
kritikan yang sifatnya membangun tentunya sangat diharapakan oleh saya demi
perbaikan makalah ini kedepan nantinya. Namun dari segala bentuk kekurangannya
saya juga sangat berharap semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita sekalian
sebagai pembacanya.
Demikian sepatah kata yang bisa disampaikan, Semoga rahmat Allah selalu
tercurahkan kapada kita yang berjihad dijalan pendidikan.
Penulis
Anggi Dwi Putra, S.H
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Masalah kepailitan
selalu menimbulkan akibat yang panjang baik bagi debitur, kreditur maupun stake holder perusahaan terutama
karyawan perusahaan karena bagaimanapun terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja
akan membawa implikasi yang buruk terhadap karyawan perusahaan maupun
keluarganya. Secara lebih luas, kepailitan perusahaan akan membawa pengaruh
yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian negara. Sementara itu saat ini
banyak perusahaan-perusahaan yang senantiasa menghadapi ancaman permohonan
kepailitan di Pengadilan Niaga karena kesulitan membayar utang perusahaan
terhadap kreditur-krediturnya. Hal ini tentu menarik untuk menjadi kajian
tersendiri.
Hukum kepailitan merupakan salah satu bidang hukum
yang saat ini banyak dipelajari, ditelaah dan dibahas kembali, oleh berbagai
pihak terutama kalangan ilmuwan maupun para praktisi khususnya yang bergerak di
bidang hukum bisnis. Kondisi ini dimulai sejak terjadinya krisis moneter di
Indonesia pada pertengahan Juli 1997 yang mengakibatkan banyaknya perusahaan mengalami
kebangkrutan. Hukum kepailitan yang lama dianggap sudah ketinggalan sehingga
tidak mampu memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis yang menginginkan agar
proses kepailitan itu dapat berjalan secara cepat, transparan, efektif, adil
dan mampu menjamin kepastian hukum.
Pailit
dapat diartikan debitor dalam keadaan berhenti membayar hutang karena tidak
mampu. Kata Pailit dapat juga diartikan sebagai Bankcrupt. Kata Bankrupt
sendiri mengandung arti Banca Ruta, dimana kata tersebut bermaksud memporak-porandakan
kursi-kursi, adapun sejarahnya mengapa dikatakan demikian adalah karena dahulu
suatu peristiwa dimana terdapat seorang debitor yang tidak dapat membayar
hutangnya kepada kreditor, karena marah sang kreditor mengamuk dan
menghancurkan seluruh kursi-kursi yang terdapat di tempat debitor. Menurut Siti
Soemarti Hartono Pailit adalah mogok melakukan pembayaran.
Sedangkan
Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 adalah
sita umum terhadap semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim pengawas
sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang. Kartono sendiri memberikan
pengertian bahwa kepailitan adalah sita umum dan eksekusi terhadap semua kekayaan
debitor untuk kepentingan semua kreditornya.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas, maka
masalah-masalah yang akan di bahas dalam makalah ini, yaitu:
1.
Bagaimana terbentuknya sejarah
perkembangan hukum kepailitan?
2.
Apa pengertian dari hukum kepailitan itu?
3.
Apa saja asas-asas dalam hukum kepailitan?
4.
Prinsip-prinsip apa saja yang
digunakan dalam hukum kepailitan?
C. Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang
tersebut di atas, maka tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk
menjelaskan sejarah perkembangan terbentuknya
hukum kepailitan
2.
Dapat memberikan pemahaman
tentang pengertian hukum kepailitan
3.
Untuk menjelaskan apa saja asas-asas dalam hukum kepailitan
4. Dapat menjelaskan tentang prinsip-prinsip dalam hukum kepailitan
D. Metode Penulisan
Makalah
ini disusun dengan menggunakan metode studi kepustakaan, yaitu dengan
mengumpulkan sumber penulisan dari bahan-bahan bacaan berupa buku, jurnal,
majalah, surat kabar, internet, dan bahan pustaka lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Hukum Kepailitan
§ Sejarah Kepailitan di Belanda
Pada mulanya
dalam hukum Belanda tidak dikenal perbedaan antara kooplieden (pedagang)
dengan niet kooplieden (bukan pedagang) dalam kepailitan. Namun, pada
permulaan abad ke 19, yaitu ketika Negeri Belanda dijajah Perancis yang
dipimpin oleh Napoleon Bonaparte berlakulah Code du Commerce (sejak 1
Januari 1814 s/d 30 September 1838). Pada masa Code du Commerce itu juga
dikenal adanya perbedaan antara kooplieden dengan niet kooplieden, dan Code
du Commerce hanya berlaku bagi kooplieden. Kemudian sesudah Belanda
merdeka, Belanda membuat sendiri Wetboek van Koophandel (WvK) yang mulai
berlaku pada 1 Oktober 1838. WvK ini dibagi dalam 3 (tiga) buku dan buku III
adalah Van de Voorzieningen in geval van onvermogen ven kooplieden, yang
diatur dalam Pasal 764 – Pasal 943 dan dibagi dalam 2 (dua) titel yaitu, Van
Faillisement, dan Van Surseance van Betaling.
Adanya dua
peraturan diatas yang membedakan antara kooplieden dan niet
kooplieden ternyata banyak menimbulkan kesulitan dan tidak disukai oleh
para sarjana hukum waktu itu antara lain Prof. Mollengraf. Pemerintah Belanda
bermaksud untuk meniadakan pemisahan hukum tersebut dengan menciptakan satu
hukum bagi seluruh rakyat Belanda. Akhirnya Prof. Mollengraaf ditugaskan oleh
pemerintah untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Kepailitan dan berhasil pada
tahun 1887. Rancangan tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-Undang dengan
nama Faillisementwet dan mulai berlaku pada 1 September 1896 (Lembaran Negara
Tahun 1893 No.140). Faillisementwet ini sekaligus mencabut Buku III WvK
dan Buku III titel 8 Wetboek van Rechtsvordering dan berati juga tidak
dapat lagi perbedaan antara hukum yang berlaku bagi kooplieden dan niet
kooplieden.
§ Sejarah Kepailitan di Indonesia
Masa berlakunya Faillisements
Verordening
Selanjutnya
mengenai kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening (Stb.
1905-217 jo Stb. 1906-348). Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku
bagi golongan Eropah, golongan Cina, dan golongan Timur Asing (Stb.1924-556).
Bagi golongan Indonesia Asli (pribumi) dapat saja menggunakan Faillisements
Verordening ini dengan cara melakukan penundukan diri. Dalam masa ini untuk
kepalitan berlaku Faillisements Verordening 1905-217 yang berlaku bagi
semua orang yaitu bagi pedagang maupun bukan pedagang, baik perseorangan maupun
badan hukum. Jalannya sejarah peraturan kepailitan di Indonesia ini adalah
sejalan dengan apa yang terjadi di negara Belanda melalui asas konkordansi
(Pasal 131 IS).
Masa Berlakunya Undang-Undang
Kepailitan Produk Hukum Nasional
Pada akhirnya
setelah berlakunya Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo Stb.
1906-348, Republik Indonesia mampu membuat sendiri peraturan kepailitan, yakni
sudah ada 3 (tiga) peraturan perundangan yang merupakan produk hukum nasional,
dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
No.1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU tentang Kepailitan yang kemudian
diubah menjadi UU No.4 Tahun 1998 dan terakhir pada tanggal 18 November 2004
disempurnakan lagi dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
a.
Masa
Berlakunya Perpu No. 1 Tahun 1998 dan UU Kepailitan No. 4 Tahun 1998
Pengaruh gejolak moneter yang terjadi
beberapa negara di Asia termasuk di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997
telah menimbulkan kesulitan yang sangat besar terhadap
perekonomian Nasional terutama kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan
usahanya. Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka
pada para kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang
berantai dan apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak yang
lebih luas lagi. Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan
efektif. Selama ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban diatur dalam Faillisements
Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348. Secara umum prosedur yang
diatur dalam Faillisements Verordening masih baik. Namum sementara
seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan perekonomian berlangsung pesat maka
wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang
memadai yakni yang cepat, adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang
piutang perusahaan yang besar penyelesaiannya terhadap kehidupan perekonomian
Nasional. Kemudian dilaksanakanlah penyempurnaan atas peraturan kepailitan atau
Faillisements Verordening melalui Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang
perubahan UU tentang kepailitan pada tanggal 22 April 1998 Perpu ini diubah
menjadi UU No. 4 Tahun 1998 yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada
tanggal 19 September 1998 yang tertuang dalam Lembaran Negara (LNRI) tahun 1998
No. 135.
b.
Masa
Berlakunya UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004
Pada 18 Oktober 2004 UU No. 4 Tahun
1998 diganti dengan disahkannya UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU No.37 Tahun 2004 ini mempunyai cakupan
yang luas karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat untuk
menyelesaikan utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif.
B.
Pengertian
Hukum Kepailitan
Kepailitan pada dasarnya merupakan
suatu lembaga yang memberi suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur
dalam keadaan berhenti membayar utang kepada kreditur. Lembaga kepailitan pada
dasarnya mempunyai 2 (dua) fungsi sekaligus, yakni:
§ Kepailitan sebagai lembaga pemberi
jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap
bertanggung jawab terhadap semua utang-utangnya kepada semua kreditur.
§ Kepailitan sebagai lembaga yang juga
memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh
kreditur-krediturnya.
Dalam
perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris istilah pailit dapat
ditemukan. Dalam bahasa Perancis, istilah faillite artinya pemogokan
atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau
berhenti membayar utangnya disebut dengan Le Faille. Di dalam bahasa
Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai arti ganda yaitu
sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan
istilah to fail dan kata di dalam bahasa Latin digunakan istilah failire.34Di
negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan
dipergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy”. Terhadap
perusahaan-perusahaan debitur yang berada dalam keadaan tidak membayar
utang-utangnya disebut dengan “insolvensi”. Sedangkan pengertian
kepailitan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang peristiwa kepailitan.
Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitur tidak mampu untuk melakukan
pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediturnya. Keadaan tidak
mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial
distress) dari usaha debitur yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan
kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas
seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada
dikemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator
dibawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil
penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur pailit
tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur
kreditur.
Jadi
kepailitan merupakan eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim,
yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta
orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit maupun
yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditur,
yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwenang, sehingga sesungguhnya
kepailitan bertujuan untuk:
§ Mencegah penyitaan dan eksekusi yang
dimintakan oleh kreditur secara perorangan.
§ Ditujukan hanya mengenai harta benda
debitur, bukan pribadinya. Jadi debitur tetap cakap untuk melakukan perbuatan
hukum.
Pengertian kepailitan sering dipahami
secara tidak tepat oleh kalangan umum. Sebagian mereka menganggap kepailitan
sebagai vonis yang berbau tindakan kriminal serta merupakan suatu cacat hukum
atas subyek hukum, karena itu kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa
mungkin. Kepailitan secara apriori dianggap sebagai kegagalan yang disebabkan
karena kesalahan dari debitur dalam menjalankan usahanya sehingga menyebabkan
utang tidak mampu dibayar. Oleh karena itu, kepailitan sering diidentikkan
sebagai penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada
kreditur. Mengenai definisi kepailitan itu sendiri tidak ditemukan dalam Faillisement
Verordening maupun dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.
Namun dalam rangka untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas ada baiknya
diketahui pendapat dari beberapa sarjana tentang pengertian pailit tersebut:
·
R.
Soekardono menyebutkan kepailitan adalah penyitaan umum atas harta kekayaan si
pailit bagi kepentingan semua penagihnya, sehingga Balai Harta Peninggalanlah
yang ditugaskan dengan pemeliharaan dan pemberesan boedel dari orang yang
pailit.
·
Siti
Soemarti Hartono mengatakan bahwa kepailitan adalah suatu lembaga hukum dalam
hukum perdata Eropa sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam hukum perdata
Eropa yang tercantum dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
·
Menurut
Memorie Van Toelichting (Penjelasan Umum) Kepailitan adalah suatu
pensitaan berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan siberutang guna
kepentingannya bersama para yang mengutangkan.
·
Mohammad
Chaidir Ali berpendapat bahwa: Kepailitan adalah pembeslahan massal dan
pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya diantara para
kreditur dengan dibawah pengawasan pemerintah
Dalam
peraturan perundangan yang lama yakni dalam Faillisement Verordening maupun
UU No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak diatur secara khusus, namun pada UU
No. 37 Tahun 2004 yaitu tentang Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa keberadaan
Undang-Undang ini berdasarkan pada sejumlah asas-asas kepailitan yakni:
Ø Asas Keseimbangan
Undang-Undang ini mengatur beberapa
ketentuan yang merupakan perwujudan dari keseimbangan, yaitu disatu pihak
terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan
lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat
ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga
kepailitan oeh kreditur yang tidak beritikad baik.
Ø Asas Kelangsungan Usaha
Dalam Undang-Undang ini, terdapat
ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap
dilangsungkan.
Ø Asas Keadilan
Dalam kepailitan asas keadilan
mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa
keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas
tagihan masing-masing terhadap debitur, dengan tidak mempedulikan kreditur
lainnya.
Ø Asas Integrasi
Asas integrasi dalam Undang-Undang
ini mengandung pengertian bahwa sisitem hukum materilnya merupakan suatu kesatuan
yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
D.
Prinsip-Prinsip
Hukum Kepailitan
Prinsip-prinsip hukum di dalam hukum kepailitab
diperlukan sebagai dasar pembentukan aturan hukum sekaligus sebagai dasar
andalan memecahkan persoalan hukum yang timbul yang mana tidak dapat/belum
dapat diakomodir oleh peraturan hukum yang ada. Berikut ini akan dikemukakan
beberapa prinsip di dalam hukum kepailitan dimana keberadaanya digunakan
sebagai dasar untuk menemukan suatu hukum, yaitu:
Ø Prinsip Paritas
Creditorium
Prinsip paritas
creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditor) menentukan bahwa kreditor
mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitor. Apabila debitor
tidak dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor menjadi sasaran
kreditor.1 Prinsip paritas creditorium mengandung makna bahwa semua kekayaan
debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun
harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barangbarang di kemudian hari
akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor.
Adapun
filosofi dari prinsip paritas creditorium adalah bahwa merupakan suatu
ketidakadilan jika debitor memiliki harta benda, sementara utang debitor
terhadap para kreditornya tidak terbayarkan. Hukum memberikan jaminan umum
bahwa harta kekayaan debitor demi hukum menjadi jaminan terhadap
utang-utangnya, meski harta tersebut tidak terkait langsung dengan
utang-utangnya.
Menurut
Kartini Muljadi, peraturan kepailitan di dalam undang-undang kepailitan adalah
penjabaran dari Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek dan Pasal 1132 Burgerlijk
Wetboek. Hal ini dikarenakan :
·
Kepailitan hanya meliputi harta pailit dan bukan
debitornya,
·
Debitor tetap pemilik kekayaannya dan merupakan pihak
yang berhak atasnya, tetapi tidak lagi berhak menguasainya atau menggunakannya
atau memindahkan haknya atau mengagunkannya,
·
Sitaan konservatoir secara umum meliputi seluruh harta
pailit.
Namun
demikian, prinsip ini tidak dapat diterapkan secara letterlijk karena
hal ini akan menimbulkan ketidakadilan berikutnya. Letak ketidakadilan tersebut
adalah para kreditor berkedudukan sama antara satu kreditor dengan kreditor
lainnya. Prinsip ini tidak membedakan perlakuan terhadap kondisi kreditor, baik
kreditor dengan piutang besar maupun kecil, pemegang jaminan, atau bukan
pemegang jaminan. Oleh karenanya, ketidakadilan prinsip paritas creditorium harus
digandengkan dengan prinsip pari passu pro rata parte dan prinsip structured
creditors.5 Berbeda halnya dengan Undang-Undang Kepailiatan yang menerapkan
prinsip paritas creditorium, maka di dalam Faillissementsverordening
(Peraturan Kepailitan sebelum Tahun 1998) tidak menganut prinsip paritas
creditorium.
Di dalam
Pasal 1 Peraturan Kepailitan/ Faillissementsverordening menyatakan bahwa
setiap debitor yang tidak mampu membayar kembali utang tersebut baik atas
permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang kreditor atau lebih, dapat
diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitor yang bersangkutan
dalam keadaan pailit.
Ketentuan
tersebut, tersurat bahwa pernyataan pailit hanya memerlukan dua syarat saja,
yaitu debitor harus berada dalam keadaan telah berhenti membayar, dan harus ada
permohonan pailit baik oleh debitor sendiri maupun seorang kreditor atau lebih.
Ketentuan
di dalam Faillissementsverordening yang tidak menganut prinsip paritas
creditorium merupakan kelalaian pembuat undang-undang. Pentingnya prinsip paritas
creditorium untuk dianut di dalam peraturan kepailitan adalah sebagai
pranata hukum untuk menghindari unlawful execution akibat
berebutnya para kreditor untuk memperoleh pembayaran piutangnya dari debitor
dimana hal itu akan merugikan baik debitor sendiri maupun kreditor yang datang
terakhir atau kreditor yang lemah.
Ø Prinsip Pari
Passu Pro Rata Parte
Prinsip pari
passu pro rata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan
jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara
proporsional diantara mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang
menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.
Prinsip
ini menekankan pada pembagian harta debitor untuk melunasi utang-utangnya
terhadap kreditor secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan
proporsinya (pond-pond gewijs) dan bukan dengan sama rata. Prinsip pari
passu pro rata parte ini bertujuan memberikan keadilan kepada kreditor
dengan konsep keadilan proporsional dimana kreditor yang memiliki piutang yang
lebih besar maka akan mendapatkan porsi pembayaran piutangnya dari debitor
lebih besar dari kreditor yang memiliki piutang lebih kecil daripadanya.12
Adapun pengaturan mengenai prinsip ini diatur pula di dalam Pasal 189 ayat (4)
dan (5) dan penjelasan Pasal 176 huruf a Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Ø Prinsip Structured
Pro Rata
Prinsip structured
pro rata atau yang disebut juga dengan istilah structured creditors merupakan
salah satu prinsip di dalam hukum kepailitan yang memberikan jalan
keluar/keadilan diantara kreditor. Prinsip ini adalah prinsip yang
mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai macam debitor sesuai dengan
kelasnya masing-masing. Di dalam kepailitan, kreditor diklasifikasikan menjadi
tiga macam, yaitu kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren.
Kreditor yang berkepentingan terhadap debitor tidak hanya kreditor konkuren
saja, melainkan juga kreditor pemegang hak jaminan kebendaan (kreditor
separatis) dan kreditor yang menurut ketentuan hukum harus didahulukan
(kreditor preferen).
Ø Prinsip Debt
Collection
Prinsip debt
collection (debt collection principle) adalah suatu konsep pembalasan dari
kreditor terhadap debitor pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitor atau
harta debitor.
Menurut Tri Hernowo, kepailitan dapat
digunakan sebagai mekanisme pemaksaaan dan pemerasan. Sedangkan menurut Emmy
Yuhassarie, hukum kepailitan dibutuhkan sebagai alat collective proceeding,
yang berarti tanpa adanya hukum kepailitan masing-masing kreditor akan
berlomba-lomba secara sendiri-sendiri mengklaim aset debitor untuk kepentingan
masing-masing. Oleh karenanya, hukum kepailitan mengatasi apa yang disebut
dengan collective action problem yang ditimbulkan dari kepentingan
individu masingmasing kreditor.
Fred BG.
Tumbuan menyatakan bahwa di dalam sistem hukum Kepailitan
Belanda, penerapan prinsip debt collection sangat ditekankan. Hal ini
disitir Fred BG Tumbuan dari Professor Mr. B. Wessels dari bukunya yaitu Faillietverklaring.
Di dalam buku tersebut menyatakan bahwa sehubungan dengan pemohonan pernyataan pailit
perlu kiranya diingat bahwa baik sita jaminan (conservatoir beslaglegging)
maupun permohonan pernyataan pailit adalah prosedur penagihan yang tidak lazim
(oineigenlijke incassoprocedures). Dinamakan “tidak lazim” karena
kedua upaya hukum tersebut disediakan sebagai “sarana tekanan” (pressie
middle) untuk memaksa pemenuhan kewajiban oleh debitor.
Berkaitan
dengan penggunaan permohonan pernyataan pailit sebagai sarana untuk menekan
atau memaksa debitor memenuhi kewajibannya. Di negeri Belanda, terdapat
perlindungan yang layak bagi debitor, yaitu :
§ Pemohon
pernyataan pailit harus mempunyai kepentingan wajar (redelijk belang)
dalam permohonan pernyataan pailit. Syarat “kepentingan wajar” bersumber
pada keadah hukum “tanpa kepentingan, tidak ada hak gugat” (geen
belang, geen actie). Kaedah hukum ini dinyatakan secara jelas dalam
Pasal 3 : 303 BW Belanda (Netherland Burgerlijk Wetboek) yag berbunyi
: “zonder voldoende belang kamt niemand een rechtvordering toe” (hanya
orang yang mempunyai kepentingan yang cukup berhak mengajukan gugatan
hukum). Kaedah hukum ini menegaskan bahwa “kepentingan yang cukup”
adalah kepentingan yang seimbang dan oleh karenanya membenarkan diajukannya
gugatan hukum (evenredigheidscriterium).
§ Hak untuk
mengajukan permohonan pernyataan pailit tidak boleh disalahgunakan. Larangan
ini bersumber pada kaedah hukum bahwa penyalahgunaan wewenang (misbruik van
bevoegheid) tidak dibenarkan. Kaedah hukum tersebut ditegaskan di dalam
Pasal 3 : 13 (1) BW Belanda yang berbunyi : “degene aan een bevoegheid
toekomt, kom haar niet inroepen, voor zoverhij haar misbruikt” (orang
yang mempunyai suatu kewenangan tidak dapat menggunakan kewenangan tersebut
sejauh ia menyalahgunakannya).
Menurut
Setiawan, peraturan kepailitan pada prinsipnya adalah debt collection law dan
bahwa kepailitan merupkan suatu aksi kolektif (collective action) dalam
debt collection. Douglas G. Bird menyatakan bahwa hukum kepailitan
bertujuan untuk digunakan sebagai alat collective proceeding.
Debt collection principle merupakan
prinsip yang menekankan bahwa utang dari debitor harus dibayar dengan harta
yang dimiliki oleh debitor secara sesegera mungkin untuk menghindari itikad
buruk dari debitor dengan cara menyembunyikan dan menyelewengkan terhadap
segenap harta bendanya yang sebenarnya adalah sebagai jaminan umum bagi
kreditornya. Manifestasi dari prinsip debt collection di dalam
kepailitan adalah ketentuan untuk melakukan pemberesan aset dengan jalan
likuidasi yang cepat dan pasti, prinsip pembuktian sederhana, diterapkannya
putusan kepailitan secara serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad), adanya
ketentuan masa tunggu (stay) bagi pemegang jaminan kebendaan, dan
kurator sebagai pelaksana pengurusan dan pemberesan.
Berkaitan
dengan peraturan atau hukum kepailitan yang ada di Indonesia, di dalam Pasal 2
ayat (1) dan Pasal 1 ayat (1) undang-undang kepailitan sangat memegang teguh
bahwa kepailitan adalah sebagai pranata debt collection. Persyaratan
dipailitkan hanya berupa dua syarat kumulatif, yakni debitor memiliki utang
yang telah jatuh tempo yang dapat ditagih yang belum dibayar lunas, serta
memiliki dua atau lebih kreditor.
Implementasi
dari prinsip debt collection juga terdapat di dalam konsep mengenai sita
umum harta kekayaan si pailit. Akan tetapi hal-hal yang berkaitan dengan konsep
sita umum ini telah mengalami pergeseran makna dalam konteks hukum kepailitan.
Hal ini terbukti dari adanya sanksi kehilangan hak keperdataan tertentu, antara
lain diatur di dalam Pasal 79 ayat (3) juncto Pasal 96 Undang-Undang Perseroan
Terbatas, Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Dari hal
diatas dapat diketahui bahwa ketentuan-ketentuan yang berkait dengan kepailitan
berakibat hukum kepailitan mengalami distorsi dimana seharusnya kepailitan
hanya berkaitan dengan harta kekayaan subyek hukum saja, tetapi pada
kenyataannya mencakup pula hak-hak keperdataan lainnya dan bahkan hak-hak publik.
Ø Prinsip
Utang
Di dalam
proses beracara dalam hukum kepailitan, konsep utang menjadi sangat penting dan
esensial (menentukan) karena tanpa adanya utang maka tidaklah mungkin perkara
kepaiiitan akan dapat diperiksa. Tanpa adanya utang, maka esensi kepailitan
tidak ada karena kepailitan adalah pranata hukum untuk melakukan likuidasi aset
debitor untuk membayar utangutangnya terhadap para kreditornya.
Dalam
kepailitan Amerika Serikat, utang disebut dengan “claim”, sedangkan
dalam bankruptcy law secara umum, utang debitor disebut dengan “debt”,
dan piutang atau tagihan kreditor disebut dengan istilah “claim”.
Menurut
Ned Waxman, dibedakan definisi antara claim dan debt. Menurutnya,
“claim is a right to payment even if it is unliquidated, unmatured,
disputed, or contingent”. Di dalam claim ini meliputi pula “right
to an equitable remedy for breach of performance if such breach gives rise
to right to payment”. Debt sendiri diartikan sebagai “a
debt is defined as liability on a claim”. Dengan melihat definisi
dari seluruh kewajiban (obligations), hal tersebut tidak menunjukkan
adanya seluruh liputan kewajiban yang ada pada debitor. Claim menurut Bankruptcy
Code Amerika Serikat, mengharuskan adanya right to payment. Right
to payment ini merupakan suatu claim sekalipun berbentuk contingent,
unliquidated, dan unmatured.
Menurut
Jordan, Warren, dan Bussel, sekalipun suatu claim didefinisikan sebagai right
to payment, hak tersebut tidak perlu merupakan hak yang telah ada
sekarang untuk menerima sejumlah uang (a present right to receive money).
Dengan demikian menurut definisi tersebut, apabila kewajiban debitor
tidak menimbulkan suatu right to payment maka kewajiban debitor
tersebut tidak dapat digolongkan sebagai suatu claim.
Pada saat
diundangkannya Section 101 (5), Congress Amerika Serikat melakukan
revisi terhadap definisi claim sehingga menjadi lebih luas pengertiannya
dibandingkan dengan Bankruptcy Law sebelumnya. Di dalam ketentuan
sebelumnya, claim harus memenuhi “proved” dan “allowed”. Namun
setelah dilakukan revisi, maka claim yang dimaksud di dalam Bankruptcy Code adalah
tetap harus “allowed”. Claim ini dianggap “allowed” apabila
claim tersebut telah diakui validitasnya oleh pengadilan menurut jumlah
tersebut (has been recognized by the court as valid in the amount
claim).
Ø Prinsip Debt
Pooling
Prinsip debt
pooling merupakan prinsip yang mengatur bagaimana harta kekayaan paiit
harus dibagi diantara para kreditornya. Dalam melakukan pendistribusian aset
tersebut, kurator akan berpegang pada prinsip paritas creditorium dan
prinsip pari passu pro rata parte serta pembagian berdasarkan jenis
masing-masing kreditor (structured creditors principle).
Black menjelaskan debt pooling sebagai :
“Arrangement by which debtor
adjusts many debts by distributing his assets among several creditor, who mat
or may not agree to take less than is owed; or and arrangement by which debtor
agree to pay in regular installments a sum of money to one creditor who agrees
to discharge all his debt”.37
Emmy
Yuhassarie menjabarkan prinsip debt adjustment sebagai suatu aspek dalam
hukum kepailitan yang dimaksudkan untuk mengubah hal distribusi dari para
kreditor sebagai suatu grup. Dalam perkembangannya prinsip ini mencakup
pengaturan dalam sistem kepailitan terutama berkaitan dengan bagaimana harta
kekayaan pailit harus dibagi diantara kreditornya.
Prinsip debt
pooling ini juga merupakan artikulasi dari kekhususan sifat-sifat yang
melekat di dalam proses kepailitan, baik itu berkenaan dengan karakteristik
kepailitan sebagai penagihan yang tidak lazim (oineigenlijke incassoprocedures),
pengadilan yang khusus menangani kepailitan dengan kompetensi absolut yang
berkaitan dengan kepailitan dan masalah yang timbul dalam kepailitan,
terdapatnya hakim pengawas dan kurator, serta hukum acara yang spesifik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi hukum kepailitan merupakan
salah satu bidang hukum yang saat ini banyak dipelajari, ditelaah dan dibahas
kembali, oleh berbagai pihak terutama kalangan ilmuwan maupun para praktisi
khususnya yang bergerak di bidang hukum bisnis.
Dalam
peraturan perundangan yang lama yakni dalam Faillisement Verordening maupun
UU No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak diatur secara khusus, namun pada UU
No. 37 Tahun 2004 yaitu tentang Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa keberadaan
Undang-Undang ini berdasarkan pada sejumlah asas-asas kepailitan yaitu; asas
keseimbangan,asas kelangsungan usaha, asas keadilan, dan asas integrasi.
Dan
juga pada prinsip-prinsip di dalam hukum kepailitab diperlukan sebagai dasar
pembentukan aturan hukum sekaligus sebagai dasar andalan memecahkan persoalan
hukum yang timbul yang mana tidak dapat/belum dapat diakomodir oleh peraturan
hukum yang ada.
Sehingga terdapat beberapa prinsip di dalam hukum kepailitan dimana keberadaanya
digunakan sebagai dasar untuk menemukan suatu hukum, yaitu; prinsip paritas creditorium, prinsip pari
passu pro rata parte, prinsip
structured pro rata, prinsip debt collection, prinsip utang, dan
prinsip debt pooling.
DAFTAR
PUSTAKA
Rahayu
Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2008), hal. 9-12.
http://www.hukumonline.com/klinik/hukum-kepailitan-modern,
diakses tgl 5 Januari 2010
Zainal
Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal.26-27.
Ahmad
Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Kepailitan, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada), hal.11
Bernadette
Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
(Bandung: Mandar Maju, 1999), hal. 1.
Rachmadi
Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2004), hal. 12.
Bankruptcy Code USA dalam Sutan Remy Sjahdeini, “Pengertian Utang dalam Kepailitan”, Jurnal
Hukum Bisnis, Volume 17, Januari, 2002, hlm. 32-33, dan M. Hadi Subhan, op.cit.,
hlm. 34.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Pasal 189 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Kartini Muljadi, Actio Pauliana dan Pokok-Pokok
tentang Pengadilan Niaga, dalam Rudhy
Lontoh, et.al, Penyelesaian Utang Piutang Melalui
Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001,
hlm. 300.
Mahadi, Falsafah Hukum : Suatu Pengantar,
Alumni, Bandung, 2003, hlm. 135.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar