Rabu, 08 April 2020

HUKUM KEPAILITAN (Anggi Dwi Putra, S.H)


KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim..
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat berupa kesehatan dan kesempatan pada saya sehingga makalah singkat ini dapat diselesaikan pada waktu yang telah di tentukan. Tak lupa pula salawat serta salam saya panjatkan pada junjungan nabi besar kita Nabi muhammad SAW, yang telah memperjuangkan nasib umat manusia dari alam bar-baria ke alam yang lebih islami.
Makalah dengan judul Hukum Kepailitan ini adalah merupakan tulisan sederhana yang saya buat dengan segala keterbatasannya yaitu referensi dan data untuk menunjang bahan materi makalah ini. Sehingga masukan berupa kritikan yang sifatnya membangun tentunya sangat diharapakan oleh saya demi perbaikan makalah ini kedepan nantinya. Namun dari segala bentuk kekurangannya saya juga sangat berharap semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita sekalian sebagai pembacanya.
Demikian sepatah kata yang bisa disampaikan, Semoga rahmat Allah selalu tercurahkan kapada kita yang berjihad dijalan pendidikan.

                                                                                                      
                                                                                                        Penulis

                                                                                                         Anggi Dwi Putra, S.H



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masalah kepailitan selalu menimbulkan akibat yang panjang baik bagi debitur, kreditur maupun stake holder perusahaan terutama karyawan perusahaan karena bagaimanapun terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja akan membawa implikasi yang buruk terhadap karyawan perusahaan maupun keluarganya. Secara lebih luas, kepailitan perusahaan akan membawa pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian negara. Sementara itu saat ini banyak perusahaan-perusahaan yang senantiasa menghadapi ancaman permohonan kepailitan di Pengadilan Niaga karena kesulitan membayar utang perusahaan terhadap kreditur-krediturnya. Hal ini tentu menarik untuk menjadi kajian tersendiri.
Hukum kepailitan merupakan salah satu bidang hukum yang saat ini banyak dipelajari, ditelaah dan dibahas kembali, oleh berbagai pihak terutama kalangan ilmuwan maupun para praktisi khususnya yang bergerak di bidang hukum bisnis. Kondisi ini dimulai sejak terjadinya krisis moneter di Indonesia pada pertengahan Juli 1997 yang mengakibatkan banyaknya perusahaan mengalami kebangkrutan. Hukum kepailitan yang lama dianggap sudah ketinggalan sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis yang menginginkan agar proses kepailitan itu dapat berjalan secara cepat, transparan, efektif, adil dan mampu menjamin kepastian hukum.
Pailit dapat diartikan debitor dalam keadaan berhenti membayar hutang karena tidak mampu. Kata Pailit dapat juga diartikan sebagai Bankcrupt. Kata Bankrupt sendiri mengandung arti Banca Ruta, dimana kata tersebut bermaksud memporak-porandakan kursi-kursi, adapun sejarahnya mengapa dikatakan demikian adalah karena dahulu suatu peristiwa dimana terdapat seorang debitor yang tidak dapat membayar hutangnya kepada kreditor, karena marah sang kreditor mengamuk dan menghancurkan seluruh kursi-kursi yang terdapat di tempat debitor. Menurut Siti Soemarti Hartono Pailit adalah mogok melakukan pembayaran.
Sedangkan Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita umum terhadap semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang. Kartono sendiri memberikan pengertian bahwa kepailitan adalah sita umum dan eksekusi terhadap semua kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka masalah-masalah yang akan di bahas dalam makalah ini, yaitu:
1.      Bagaimana terbentuknya sejarah perkembangan hukum kepailitan?
2.      Apa pengertian dari hukum kepailitan itu?
3.      Apa saja asas-asas dalam hukum kepailitan?
4.      Prinsip-prinsip apa saja yang digunakan dalam hukum kepailitan?
C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang tersebut di atas, maka tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1.      Untuk menjelaskan sejarah perkembangan terbentuknya hukum kepailitan
2.      Dapat memberikan pemahaman tentang pengertian hukum kepailitan
3.      Untuk menjelaskan apa saja asas-asas dalam hukum kepailitan
4.      Dapat menjelaskan tentang prinsip-prinsip dalam hukum kepailitan
D.    Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan menggunakan metode studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan sumber penulisan dari bahan-bahan bacaan berupa buku, jurnal, majalah, surat kabar, internet, dan bahan pustaka lainnya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Perkembangan Hukum Kepailitan
§  Sejarah Kepailitan di Belanda
Pada mulanya dalam hukum Belanda tidak dikenal perbedaan antara kooplieden (pedagang) dengan niet kooplieden (bukan pedagang) dalam kepailitan. Namun, pada permulaan abad ke 19, yaitu ketika Negeri Belanda dijajah Perancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte berlakulah Code du Commerce (sejak 1 Januari 1814 s/d 30 September 1838). Pada masa Code du Commerce itu juga dikenal adanya perbedaan antara kooplieden dengan niet kooplieden, dan Code du Commerce hanya berlaku bagi kooplieden. Kemudian sesudah Belanda merdeka, Belanda membuat sendiri Wetboek van Koophandel (WvK) yang mulai berlaku pada 1 Oktober 1838. WvK ini dibagi dalam 3 (tiga) buku dan buku III adalah Van de Voorzieningen in geval van onvermogen ven kooplieden, yang diatur dalam Pasal 764 – Pasal 943 dan dibagi dalam 2 (dua) titel yaitu, Van Faillisement, dan Van Surseance van Betaling.
Adanya dua peraturan diatas yang membedakan antara kooplieden dan niet kooplieden ternyata banyak menimbulkan kesulitan dan tidak disukai oleh para sarjana hukum waktu itu antara lain Prof. Mollengraf. Pemerintah Belanda bermaksud untuk meniadakan pemisahan hukum tersebut dengan menciptakan satu hukum bagi seluruh rakyat Belanda. Akhirnya Prof. Mollengraaf ditugaskan oleh pemerintah untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Kepailitan dan berhasil pada tahun 1887. Rancangan tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-Undang dengan nama Faillisementwet dan mulai berlaku pada 1 September 1896 (Lembaran Negara Tahun 1893 No.140). Faillisementwet ini sekaligus mencabut Buku III WvK dan Buku III titel 8 Wetboek van Rechtsvordering dan berati juga tidak dapat lagi perbedaan antara hukum yang berlaku bagi kooplieden dan niet kooplieden.
§  Sejarah Kepailitan di Indonesia
Masa berlakunya Faillisements Verordening
Selanjutnya mengenai kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening (Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348). Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropah, golongan Cina, dan golongan Timur Asing (Stb.1924-556). Bagi golongan Indonesia Asli (pribumi) dapat saja menggunakan Faillisements Verordening ini dengan cara melakukan penundukan diri. Dalam masa ini untuk kepalitan berlaku Faillisements Verordening 1905-217 yang berlaku bagi semua orang yaitu bagi pedagang maupun bukan pedagang, baik perseorangan maupun badan hukum. Jalannya sejarah peraturan kepailitan di Indonesia ini adalah sejalan dengan apa yang terjadi di negara Belanda melalui asas konkordansi (Pasal 131 IS).
Masa Berlakunya Undang-Undang Kepailitan Produk Hukum Nasional
Pada akhirnya setelah berlakunya Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348, Republik Indonesia mampu membuat sendiri peraturan kepailitan, yakni sudah ada 3 (tiga) peraturan perundangan yang merupakan produk hukum nasional, dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU tentang Kepailitan yang kemudian diubah menjadi UU No.4 Tahun 1998 dan terakhir pada tanggal 18 November 2004 disempurnakan lagi dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
a.       Masa Berlakunya Perpu No. 1 Tahun 1998 dan UU Kepailitan No. 4 Tahun 1998
Pengaruh gejolak moneter yang terjadi beberapa negara di Asia termasuk di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan  kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian Nasional terutama kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya. Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka pada para kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang berantai dan apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas lagi. Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan efektif. Selama ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban diatur dalam Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348. Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillisements Verordening masih baik. Namum sementara seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan perekonomian berlangsung pesat maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang memadai yakni yang cepat, adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar penyelesaiannya terhadap kehidupan perekonomian Nasional. Kemudian dilaksanakanlah penyempurnaan atas peraturan kepailitan atau Faillisements Verordening melalui Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan UU tentang kepailitan pada tanggal 22 April 1998 Perpu ini diubah menjadi UU No. 4 Tahun 1998 yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 September 1998 yang tertuang dalam Lembaran Negara (LNRI) tahun 1998 No. 135.
b.      Masa Berlakunya UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004
Pada 18 Oktober 2004 UU No. 4 Tahun 1998 diganti dengan disahkannya UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU No.37 Tahun 2004 ini mempunyai cakupan yang luas karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat untuk menyelesaikan utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif.
B.     Pengertian Hukum Kepailitan
Kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberi suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar utang kepada kreditur. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai 2 (dua) fungsi sekaligus, yakni:
§  Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua utang-utangnya kepada semua kreditur.
§  Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya.
Dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris istilah pailit dapat ditemukan. Dalam bahasa Perancis, istilah faillite artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le Faille. Di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan istilah to fail dan kata di dalam bahasa Latin digunakan istilah failire.34Di negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy”. Terhadap perusahaan-perusahaan debitur yang berada dalam keadaan tidak membayar utang-utangnya disebut dengan “insolvensi”. Sedangkan pengertian kepailitan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang peristiwa kepailitan. Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediturnya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitur yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditur.
Jadi kepailitan merupakan eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditur, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwenang, sehingga sesungguhnya kepailitan bertujuan untuk:
§  Mencegah penyitaan dan eksekusi yang dimintakan oleh kreditur secara perorangan.
§  Ditujukan hanya mengenai harta benda debitur, bukan pribadinya. Jadi debitur tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Pengertian kepailitan sering dipahami secara tidak tepat oleh kalangan umum. Sebagian mereka menganggap kepailitan sebagai vonis yang berbau tindakan kriminal serta merupakan suatu cacat hukum atas subyek hukum, karena itu kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Kepailitan secara apriori dianggap sebagai kegagalan yang disebabkan karena kesalahan dari debitur dalam menjalankan usahanya sehingga menyebabkan utang tidak mampu dibayar. Oleh karena itu, kepailitan sering diidentikkan sebagai penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditur. Mengenai definisi kepailitan itu sendiri tidak ditemukan dalam Faillisement Verordening maupun dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Namun dalam rangka untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas ada baiknya diketahui pendapat dari beberapa sarjana tentang pengertian pailit tersebut:

·         R. Soekardono menyebutkan kepailitan adalah penyitaan umum atas harta kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya, sehingga Balai Harta Peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan dan pemberesan boedel dari orang yang pailit.
·         Siti Soemarti Hartono mengatakan bahwa kepailitan adalah suatu lembaga hukum dalam hukum perdata Eropa sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam hukum perdata Eropa yang tercantum dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
·         Menurut Memorie Van Toelichting (Penjelasan Umum) Kepailitan adalah suatu pensitaan berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan siberutang guna kepentingannya bersama para yang mengutangkan.
·         Mohammad Chaidir Ali berpendapat bahwa: Kepailitan adalah pembeslahan massal dan pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya diantara para kreditur dengan dibawah pengawasan pemerintah
 C.    Asas-Asas Dalam Hukum Kepailitan
Dalam peraturan perundangan yang lama yakni dalam Faillisement Verordening maupun UU No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak diatur secara khusus, namun pada UU No. 37 Tahun 2004 yaitu tentang Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa keberadaan Undang-Undang ini berdasarkan pada sejumlah asas-asas kepailitan yakni:
Ø  Asas Keseimbangan
Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari keseimbangan, yaitu disatu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oeh kreditur yang tidak beritikad baik.
Ø  Asas Kelangsungan Usaha
Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.
Ø  Asas Keadilan
Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur, dengan tidak mempedulikan kreditur lainnya.
Ø  Asas Integrasi
Asas integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sisitem hukum materilnya merupakan suatu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
D.    Prinsip-Prinsip Hukum Kepailitan
Prinsip-prinsip hukum di dalam hukum kepailitab diperlukan sebagai dasar pembentukan aturan hukum sekaligus sebagai dasar andalan memecahkan persoalan hukum yang timbul yang mana tidak dapat/belum dapat diakomodir oleh peraturan hukum yang ada. Berikut ini akan dikemukakan beberapa prinsip di dalam hukum kepailitan dimana keberadaanya digunakan sebagai dasar untuk menemukan suatu hukum, yaitu:
Ø  Prinsip Paritas Creditorium
Prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditor) menentukan bahwa kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitor. Apabila debitor tidak dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor menjadi sasaran kreditor.1 Prinsip paritas creditorium mengandung makna bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barangbarang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor.
Adapun filosofi dari prinsip paritas creditorium adalah bahwa merupakan suatu ketidakadilan jika debitor memiliki harta benda, sementara utang debitor terhadap para kreditornya tidak terbayarkan. Hukum memberikan jaminan umum bahwa harta kekayaan debitor demi hukum menjadi jaminan terhadap utang-utangnya, meski harta tersebut tidak terkait langsung dengan utang-utangnya.
Menurut Kartini Muljadi, peraturan kepailitan di dalam undang-undang kepailitan adalah penjabaran dari Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek dan Pasal 1132 Burgerlijk Wetboek. Hal ini dikarenakan :
·         Kepailitan hanya meliputi harta pailit dan bukan debitornya,
·         Debitor tetap pemilik kekayaannya dan merupakan pihak yang berhak atasnya, tetapi tidak lagi berhak menguasainya atau menggunakannya atau memindahkan haknya atau mengagunkannya,
·         Sitaan konservatoir secara umum meliputi seluruh harta pailit.
Namun demikian, prinsip ini tidak dapat diterapkan secara letterlijk karena hal ini akan menimbulkan ketidakadilan berikutnya. Letak ketidakadilan tersebut adalah para kreditor berkedudukan sama antara satu kreditor dengan kreditor lainnya. Prinsip ini tidak membedakan perlakuan terhadap kondisi kreditor, baik kreditor dengan piutang besar maupun kecil, pemegang jaminan, atau bukan pemegang jaminan. Oleh karenanya, ketidakadilan prinsip paritas creditorium harus digandengkan dengan prinsip pari passu pro rata parte dan prinsip structured creditors.5 Berbeda halnya dengan Undang-Undang Kepailiatan yang menerapkan prinsip paritas creditorium, maka di dalam Faillissementsverordening (Peraturan Kepailitan sebelum Tahun 1998) tidak menganut prinsip paritas creditorium.
Di dalam Pasal 1 Peraturan Kepailitan/ Faillissementsverordening menyatakan bahwa setiap debitor yang tidak mampu membayar kembali utang tersebut baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang kreditor atau lebih, dapat diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitor yang bersangkutan dalam keadaan pailit.
Ketentuan tersebut, tersurat bahwa pernyataan pailit hanya memerlukan dua syarat saja, yaitu debitor harus berada dalam keadaan telah berhenti membayar, dan harus ada permohonan pailit baik oleh debitor sendiri maupun seorang kreditor atau lebih.
Ketentuan di dalam Faillissementsverordening yang tidak menganut prinsip paritas creditorium merupakan kelalaian pembuat undang-undang. Pentingnya prinsip paritas creditorium untuk dianut di dalam peraturan kepailitan adalah sebagai pranata hukum untuk menghindari unlawful execution akibat berebutnya para kreditor untuk memperoleh pembayaran piutangnya dari debitor dimana hal itu akan merugikan baik debitor sendiri maupun kreditor yang datang terakhir atau kreditor yang lemah.
Ø  Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte
Prinsip pari passu pro rata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional diantara mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.
Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitor untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditor secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan proporsinya (pond-pond gewijs) dan bukan dengan sama rata. Prinsip pari passu pro rata parte ini bertujuan memberikan keadilan kepada kreditor dengan konsep keadilan proporsional dimana kreditor yang memiliki piutang yang lebih besar maka akan mendapatkan porsi pembayaran piutangnya dari debitor lebih besar dari kreditor yang memiliki piutang lebih kecil daripadanya.12 Adapun pengaturan mengenai prinsip ini diatur pula di dalam Pasal 189 ayat (4) dan (5) dan penjelasan Pasal 176 huruf a Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Ø  Prinsip Structured Pro Rata
Prinsip structured pro rata atau yang disebut juga dengan istilah structured creditors merupakan salah satu prinsip di dalam hukum kepailitan yang memberikan jalan keluar/keadilan diantara kreditor. Prinsip ini adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai macam debitor sesuai dengan kelasnya masing-masing. Di dalam kepailitan, kreditor diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren. Kreditor yang berkepentingan terhadap debitor tidak hanya kreditor konkuren saja, melainkan juga kreditor pemegang hak jaminan kebendaan (kreditor separatis) dan kreditor yang menurut ketentuan hukum harus didahulukan (kreditor preferen).
Ø  Prinsip Debt Collection
Prinsip debt collection (debt collection principle) adalah suatu konsep pembalasan dari kreditor terhadap debitor pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitor atau harta debitor.
 Menurut Tri Hernowo, kepailitan dapat digunakan sebagai mekanisme pemaksaaan dan pemerasan. Sedangkan menurut Emmy Yuhassarie, hukum kepailitan dibutuhkan sebagai alat collective proceeding, yang berarti tanpa adanya hukum kepailitan masing-masing kreditor akan berlomba-lomba secara sendiri-sendiri mengklaim aset debitor untuk kepentingan masing-masing. Oleh karenanya, hukum kepailitan mengatasi apa yang disebut dengan collective action problem yang ditimbulkan dari kepentingan individu masingmasing kreditor.
Fred BG. Tumbuan menyatakan bahwa di dalam sistem hukum Kepailitan Belanda, penerapan prinsip debt collection sangat ditekankan. Hal ini disitir Fred BG Tumbuan dari Professor Mr. B. Wessels dari bukunya yaitu Faillietverklaring. Di dalam buku tersebut menyatakan bahwa sehubungan dengan pemohonan pernyataan pailit perlu kiranya diingat bahwa baik sita jaminan (conservatoir beslaglegging) maupun permohonan pernyataan pailit adalah prosedur penagihan yang tidak lazim (oineigenlijke incassoprocedures). Dinamakan “tidak lazim” karena kedua upaya hukum tersebut disediakan sebagai “sarana tekanan” (pressie middle) untuk memaksa pemenuhan kewajiban oleh debitor.
Berkaitan dengan penggunaan permohonan pernyataan pailit sebagai sarana untuk menekan atau memaksa debitor memenuhi kewajibannya. Di negeri Belanda, terdapat perlindungan yang layak bagi debitor, yaitu :
§  Pemohon pernyataan pailit harus mempunyai kepentingan wajar (redelijk belang) dalam permohonan pernyataan pailit. Syarat “kepentingan wajar” bersumber pada keadah hukum “tanpa kepentingan, tidak ada hak gugat” (geen belang, geen actie). Kaedah hukum ini dinyatakan secara jelas dalam Pasal 3 : 303 BW Belanda (Netherland Burgerlijk Wetboek) yag berbunyi : “zonder voldoende belang kamt niemand een rechtvordering toe” (hanya orang yang mempunyai kepentingan yang cukup berhak mengajukan gugatan hukum). Kaedah hukum ini menegaskan bahwa “kepentingan yang cukup” adalah kepentingan yang seimbang dan oleh karenanya membenarkan diajukannya gugatan hukum (evenredigheidscriterium).
§  Hak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit tidak boleh disalahgunakan. Larangan ini bersumber pada kaedah hukum bahwa penyalahgunaan wewenang (misbruik van bevoegheid) tidak dibenarkan. Kaedah hukum tersebut ditegaskan di dalam Pasal 3 : 13 (1) BW Belanda yang berbunyi : “degene aan een bevoegheid toekomt, kom haar niet inroepen, voor zoverhij haar misbruikt” (orang yang mempunyai suatu kewenangan tidak dapat menggunakan kewenangan tersebut sejauh ia menyalahgunakannya).
Menurut Setiawan, peraturan kepailitan pada prinsipnya adalah debt collection law dan bahwa kepailitan merupkan suatu aksi kolektif (collective action) dalam debt collection. Douglas G. Bird menyatakan bahwa hukum kepailitan bertujuan untuk digunakan sebagai alat collective proceeding.
Debt collection principle merupakan prinsip yang menekankan bahwa utang dari debitor harus dibayar dengan harta yang dimiliki oleh debitor secara sesegera mungkin untuk menghindari itikad buruk dari debitor dengan cara menyembunyikan dan menyelewengkan terhadap segenap harta bendanya yang sebenarnya adalah sebagai jaminan umum bagi kreditornya. Manifestasi dari prinsip debt collection di dalam kepailitan adalah ketentuan untuk melakukan pemberesan aset dengan jalan likuidasi yang cepat dan pasti, prinsip pembuktian sederhana, diterapkannya putusan kepailitan secara serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad), adanya ketentuan masa tunggu (stay) bagi pemegang jaminan kebendaan, dan kurator sebagai pelaksana pengurusan dan pemberesan.
Berkaitan dengan peraturan atau hukum kepailitan yang ada di Indonesia, di dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (1) undang-undang kepailitan sangat memegang teguh bahwa kepailitan adalah sebagai pranata debt collection. Persyaratan dipailitkan hanya berupa dua syarat kumulatif, yakni debitor memiliki utang yang telah jatuh tempo yang dapat ditagih yang belum dibayar lunas, serta memiliki dua atau lebih kreditor.
Implementasi dari prinsip debt collection juga terdapat di dalam konsep mengenai sita umum harta kekayaan si pailit. Akan tetapi hal-hal yang berkaitan dengan konsep sita umum ini telah mengalami pergeseran makna dalam konteks hukum kepailitan. Hal ini terbukti dari adanya sanksi kehilangan hak keperdataan tertentu, antara lain diatur di dalam Pasal 79 ayat (3) juncto Pasal 96 Undang-Undang Perseroan Terbatas, Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Dari hal diatas dapat diketahui bahwa ketentuan-ketentuan yang berkait dengan kepailitan berakibat hukum kepailitan mengalami distorsi dimana seharusnya kepailitan hanya berkaitan dengan harta kekayaan subyek hukum saja, tetapi pada kenyataannya mencakup pula hak-hak keperdataan lainnya dan bahkan hak-hak publik.
Ø  Prinsip Utang
Di dalam proses beracara dalam hukum kepailitan, konsep utang menjadi sangat penting dan esensial (menentukan) karena tanpa adanya utang maka tidaklah mungkin perkara kepaiiitan akan dapat diperiksa. Tanpa adanya utang, maka esensi kepailitan tidak ada karena kepailitan adalah pranata hukum untuk melakukan likuidasi aset debitor untuk membayar utangutangnya terhadap para kreditornya.
Dalam kepailitan Amerika Serikat, utang disebut dengan “claim”, sedangkan dalam bankruptcy law secara umum, utang debitor disebut dengan “debt”, dan piutang atau tagihan kreditor disebut dengan istilah “claim”.
Menurut Ned Waxman, dibedakan definisi antara claim dan debt. Menurutnya, “claim is a right to payment even if it is unliquidated, unmatured, disputed, or contingent”. Di dalam claim ini meliputi pula “right to an equitable remedy for breach of performance if such breach gives rise to right to payment”. Debt sendiri diartikan sebagai “a debt is defined as liability on a claim”. Dengan melihat definisi dari seluruh kewajiban (obligations), hal tersebut tidak menunjukkan adanya seluruh liputan kewajiban yang ada pada debitor. Claim menurut Bankruptcy Code Amerika Serikat, mengharuskan adanya right to payment. Right to payment ini merupakan suatu claim sekalipun berbentuk contingent, unliquidated, dan unmatured.
Menurut Jordan, Warren, dan Bussel, sekalipun suatu claim didefinisikan sebagai right to payment, hak tersebut tidak perlu merupakan hak yang telah ada sekarang untuk menerima sejumlah uang (a present right to receive money). Dengan demikian menurut definisi tersebut, apabila kewajiban debitor tidak menimbulkan suatu right to payment maka kewajiban debitor tersebut tidak dapat digolongkan sebagai suatu claim.
Pada saat diundangkannya Section 101 (5), Congress Amerika Serikat melakukan revisi terhadap definisi claim sehingga menjadi lebih luas pengertiannya dibandingkan dengan Bankruptcy Law sebelumnya. Di dalam ketentuan sebelumnya, claim harus memenuhi “proved” dan “allowed”. Namun setelah dilakukan revisi, maka claim yang dimaksud di dalam Bankruptcy Code adalah tetap harus “allowed”. Claim ini dianggap “allowed” apabila claim tersebut telah diakui validitasnya oleh pengadilan menurut jumlah tersebut (has been recognized by the court as valid in the amount claim).
Ø  Prinsip Debt Pooling
Prinsip debt pooling merupakan prinsip yang mengatur bagaimana harta kekayaan paiit harus dibagi diantara para kreditornya. Dalam melakukan pendistribusian aset tersebut, kurator akan berpegang pada prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu pro rata parte serta pembagian berdasarkan jenis masing-masing kreditor (structured creditors principle).
Black menjelaskan debt pooling sebagai :
“Arrangement by which debtor adjusts many debts by distributing his assets among several creditor, who mat or may not agree to take less than is owed; or and arrangement by which debtor agree to pay in regular installments a sum of money to one creditor who agrees to discharge all his debt”.37
Emmy Yuhassarie menjabarkan prinsip debt adjustment sebagai suatu aspek dalam hukum kepailitan yang dimaksudkan untuk mengubah hal distribusi dari para kreditor sebagai suatu grup. Dalam perkembangannya prinsip ini mencakup pengaturan dalam sistem kepailitan terutama berkaitan dengan bagaimana harta kekayaan pailit harus dibagi diantara kreditornya.
Prinsip debt pooling ini juga merupakan artikulasi dari kekhususan sifat-sifat yang melekat di dalam proses kepailitan, baik itu berkenaan dengan karakteristik kepailitan sebagai penagihan yang tidak lazim (oineigenlijke incassoprocedures), pengadilan yang khusus menangani kepailitan dengan kompetensi absolut yang berkaitan dengan kepailitan dan masalah yang timbul dalam kepailitan, terdapatnya hakim pengawas dan kurator, serta hukum acara yang spesifik.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Jadi hukum kepailitan merupakan salah satu bidang hukum yang saat ini banyak dipelajari, ditelaah dan dibahas kembali, oleh berbagai pihak terutama kalangan ilmuwan maupun para praktisi khususnya yang bergerak di bidang hukum bisnis.
Dalam peraturan perundangan yang lama yakni dalam Faillisement Verordening maupun UU No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak diatur secara khusus, namun pada UU No. 37 Tahun 2004 yaitu tentang Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa keberadaan Undang-Undang ini berdasarkan pada sejumlah asas-asas kepailitan yaitu; asas keseimbangan,asas kelangsungan usaha, asas keadilan, dan asas integrasi.
Dan juga pada prinsip-prinsip di dalam hukum kepailitab diperlukan sebagai dasar pembentukan aturan hukum sekaligus sebagai dasar andalan memecahkan persoalan hukum yang timbul yang mana tidak dapat/belum dapat diakomodir oleh peraturan hukum yang ada. Sehingga terdapat beberapa prinsip di dalam hukum kepailitan dimana keberadaanya digunakan sebagai dasar untuk menemukan suatu hukum, yaitu; prinsip paritas creditorium, prinsip pari passu pro rata parte, prinsip structured pro rata, prinsip debt collection, prinsip utang, dan prinsip debt pooling.



DAFTAR PUSTAKA

Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2008), hal. 9-12.
http://www.hukumonline.com/klinik/hukum-kepailitan-modern, diakses tgl 5 Januari 2010
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal.26-27.
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Kepailitan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal.11
Bernadette Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hal. 1.
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 12.
Bankruptcy Code USA dalam Sutan Remy Sjahdeini, “Pengertian Utang dalam Kepailitan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 17, Januari, 2002, hlm. 32-33, dan M. Hadi Subhan, op.cit., hlm. 34.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Pasal 189 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Kartini Muljadi, Actio Pauliana dan Pokok-Pokok tentang Pengadilan Niaga, dalam Rudhy
Lontoh, et.al, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001, hlm. 300.
Mahadi, Falsafah Hukum : Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 135.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENGENAL REKAM JEJAK DIGITAL KITA DI INTERNET

Anggi Dwi Putra, SH Dunia digital memiliki jangkauan yang luas, tidak terbatas ruang dan waktu, mudah diterima serta dibagikan. Jika dahulu ...