Minggu, 12 April 2020

KEBIJAKAN LOCKDOWN DAN INFRASTRUKTURNYA DALAM HUKUM INDONESIA.

[Oleh : ANGGI DWI PUTRA, S.H]
Secara harfiah, lockdown sendiri dapat diartikan kuncian atau mengunci. Lockdown merupakan protokol untuk mengisolasi suatu wilayah agar populasi di dalamnya tidak keluar dari wilayah tersebut. Protokol ini bersifat temporer dan bisa dicabut sewaktu-waktu, jika kondisi dianggap telah membaik.
Merujuk pada definisi kamus Merriam Webster, lockdown artinya ialah mengurung warga atau sebagian warga untuk sementara demi menjaga keamanan. Lockdown juga diartikan sebagai tindakan darurat ketika orang-orang dicegah meninggalkan atau memasuki suatu kawasan untuk sementara, demi menghindari bahaya. Sedangkan menurut Oxford University Press, pengertian lockdown adalah sebuah perintah resmi untuk mengendalikan pergerakan orang atau kendaraan di dalam suatu wilayah karena adanya situasi berbahaya.
Lindsay Wiley, Profesor Hukum dan Etika Kesehatan Publik dari Washington College berpendapat bahwa istilah lockdown yang selama ini sering digunakan pers dalam memberitakan isu corona bukan istilah teknis yang punya arti spesifik. Wiley mengatakan, lockdown dalam perspektif kesehatan publik jika merujuk apa yang sudah China dan Italia lakukan adalah upaya menciptakan sebuah karantina geografis, atau dikenal juga sebagai cordon sanitaire yang berarti membuat sebuah pembatas dan mencoba untuk menghentikan orang untuk masuk atau keluar (dari sebuah wilayah tertentu) dengan pengecualian untuk pengiriman barang atau orang untuk menjaga keperluan penting.
Pada intinya, lockdown merupakan sebuah kebijakan pengamanan terhadap sebuah ancaman (dalam hal ini penyebaran virus corona). Kebijakan ini harus lengkap dengan jaminan keamanan dan keperluan sosial untuk warga, seperti suplai makanan, kesehatan, pendidikan dan hal penting lainnya meskipun sedang diisolasi.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sebetulnya tidak ditemukan padanan dari istilah lockdown ini namun menurut Menko Polhukam Mahfud Md, dalam bahasa resmi hukum Indonesia dikenal adanya istilah Karantina  Wilayah sebagimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Menurut Pasal 1 ayat (1) UU tersebut diebutkan  ‘Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat,” kemudian dalam ayat 2-nya, mengatakan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.
Dalam UU No. 6 tahun 2018 diatur beberapa jenis karantina diantaranya Karantina Rumah, Karantina Wilayah dan Karantina Rumah Sakit. Lalu ada juga yang disebut dengan Pembatasan Sosial. Penjelasan ini ada di pasal 49.
Karantina Rumah diatur dalam Pasal 50, 51 dan 52, Karantina Rumah dilakukan hanya kalau kedaruratannya terjadi di satu rumah. Karantina ini meliputi orang, rumah dan alat angkut yang dipakai. Orang yang dikarantina tidak boleh keluar, tapi kebutuhan mereka dijamin oleh negara.
Karantina Wilayah diatur dalam Pasal 53, 54 dan 55. Karantina jenis Inilah yang sering dipersamakan dengan lockdown berdasarkan kemiripan karakter dan mekanismenya. Syarat pelaksanaan karantina wilayah harus ada penyebaran penyakit di antara masyarakat dan harus dilakukan penutupan wilayah untuk menangani wabah ini. Wilayah yang dikunci dikasih tanda karantina, dijaga oleh aparat, anggota masyarakat tidak boleh keluar masuk wilayah yang dibatasi, dan kebutuhan dasar mereka wajib dipenuhi oleh pemerintah.
Karantina Rumah Sakit diatur Pada Pasal 56, 57 dan 58 karantina ini dilakukan kalau seandainya memang wabah bisa dibatasi hanya di dalam satu atau beberapa rumah sakit saja. RS akan dikasih garis batas dan dijaga, dan mereka yang dikarantina akan dijamin kebutuhan dasarnya.
Pembatasan sosial (Social Distancing) skala besar yang sekarang telah diterapkan pemerintah pusat dan daerah diatur di pasal 59. Pembatasan sosial berskala besar merupakan bagian dari upaya memutus wabah, dengan mencegah interaksi sosial skala besar dari orang-orang di suatu wilayah. Paling sedikit yang dilakukan adalah sekolah dan kantor diliburkan, acara keagamaan dibatasi atau kegiatan yang skalanya besar dibatasi. Ini yang minimal. Yang lebih tinggi lagi juga bisa, misalnya penutupan toko dan mall, penutupan tempat hiburan yang banyak dikunjungi orang, atau tindakan apapun yang tujuannya mencegah orang banyak berkumpul.
Selain UU Karantina Kesehatan tersebut, terdapat juga ketentuan lain, yakni Undang-undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit , yang dalam Pasal 1 huruf a, menyebutkan Wabah penyakit menular adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu, serta dapat menimbulkan malapetaka. Pada furuf b-nya mengatakan, sumber penyakit adalah manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda yang mengandung dan/atau tercemar bibit penyakit, serta yang dapat menimbulkan wabah.
Dalam kondisi penularan suatu penyakit meningkat secara nyata, maka Pasal 4 ayat (1) UU tersebut menyebutkan, Menteri menetapkan daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah wabah, selanjutnya dalam ayat 2, bahwa Menteri mencabut penetapan daerah wabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sedangkan dalam ayat 3-nya, mengatakan Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Syarat utama untuk dapat dilakukan Karantina Wilayah adalah penentuan status darurat kesehatan nasional oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini adalah Presiden, yang diikuti dengan pembentukan satuan tugas untuk melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi sebuah wabah penyakit. Sebagaimana diuraikan dalam Bab IV tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Pasal 10 sampai 14 UU No. 6 Tahun 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENGENAL REKAM JEJAK DIGITAL KITA DI INTERNET

Anggi Dwi Putra, SH Dunia digital memiliki jangkauan yang luas, tidak terbatas ruang dan waktu, mudah diterima serta dibagikan. Jika dahulu ...