
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Merujuk teori ketatanegaraan klasik yang dikemukakan Aristoteles, konsep
negara hukum (rule of law) merupakan pemikiran yang dihadapkan (contrast) dengan konsep rule of man. Dalam modern
constitutional state, salah satu ciri negara hukum (the rule of
law atau rechtsstaat) ditandai dengan pembatasan kekuasaan
dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum
yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern.
pembagian atau pemisahan kekuasaan adalah salah satu elemen penting teori
negara hukum Eropa Kontinental, Hadirnya ide
pembatasan kekuasaan itu tidak terlepas dari pengalaman penumpukan semua cabang
kekuasaan negara dalam tangan satu orang sehingga menimbulkan kekuasaan yang
absolut. Misalnya perkembangan dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan
Inggris, raja pernah begitu berkuasa karena menggabungkan tiga cabang kekuasaan
negara (law-giver, the executor of the law, and the judge) dalam
satu tangan. Karena itu, sejarah pembagian kekuasaan negara bermula dari
gagasan pemisahan kekuasaan ke dalam berbagai organ agar tidak terpusat di
tangan seorang monarki (raja absolut).
Negara Hukum Dan Demokrasi adalah bentuk atau
mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan olehpemerintah negara tersebut.
Salah
satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan
politik negara (eksekutif, yudikatif danlegislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang
saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang
sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga
negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan
saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah
lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan
melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang
menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat
(DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan
legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib
bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui
proses pemilihan umum legislatif, selain sesuaihukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau
hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh
melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti
oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang
berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak
semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih). Kedaulatan rakyat yang dimaksud
di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota
parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan
presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut
sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara
langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat.
Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum
sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari
sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan
sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik
apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada
masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara
demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah
melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan
kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Negara Hukum
dan Demokrasi
Hubungan antara Negara hukum dan
demokrasi dapat diibaratkan dengan dua sisi mata uang, dalam arti bahwa
kualitas hukum suatu Negara menentukan kualitas demokrasinya. Artinya,
Negara-negara yang demokratis akan melahirkan pula hukum-hukum yang berwatak
demokratis, sedangkan Negara-negara yang otoriter atau non demokratis akan lahir
hukum-hukum yang non demokratis (Mahfud MD, 1999: 53).
Secara
historis tercatat bahwa prinsip demokrasi lahir sebagai saudara kembar dari
prinsip hukum dalam negara-negara modern. Ketika gagasan demokrasi muncul
kembali setelah tenggelam karena takluknya Romawi terhadap Eropa Barat, maka
pemunculan itu diikuti oleh prinsip hukum sebagai prosedur untuk memproses
aspirasi rakyat dan prosedur untuk menegakkannya. Jadi dapat diketahui bahwa
revolusi Prancis yang merupakan tonggak berdirinya demokrasi sekaligus disusul
pula dengan lahirnya negara hukum. Jadi demokrasi dan hukum itu lahir dari ibu
kandung yang sama (Mahfud MD, 1999: 176).
Demokrasi identik dengan kebebasan dalam arti yang sangat
longgar. Bebas dalam berfikir, berbuat, memilih, dan sebagainya. Pemahaman
seperti ini yang membuat para pakar politik seperti dalam pengembaraan yang tak
berujung. Seperti meminum air laut, bertambah banyak kita meminumnya, kita
justru bertambah haus. Bertambah serius kita membahas demokrasi, bertambah
tinggi rasa penasaran kita akan batas ide yang seolah-olah tak bertepi ini.
Karena demikian luasnya kemungkinan yang dijanjikan oleh demokrasi, membuat
setiap orang merasa berhak untuk secara bebas mengutakan isi hatinya. Orang akan
sangat gampang terlempar dari pengertian demokrasi, dan tergelincir ke prinsip
liberalisasi (Imawan, 1999: 218-219). Karena ide demokrasi sangat bersifat
universal, tidak beroperasi di ruang hampa dan berinteraksi dengan perharapan,
pengamalan, dan kondisi sosiologis suatu bangsa (Imawan, 1999: 112). Dengan
alasan tersebut sudah menjadi jelas bahwa demokrasi yang hampir sepenuhnya
disepakti sebagai model terbaik bagi dasar penyelenggaraan Negara ternyata
memberikan implikasi yang berbeda di antara pemakai-pemakainya bagi peranan
Negara (Mahfudz MD, 1999: 6-7)
Untuk implementasi ke dalam sistem
pemerintahan demokrasi juga melahirkan sistem yang bermacam-macam. Pertama, sistem
presidensial yang menyejajarkan antara parlemen dan presiden dengan memberi dua
kedudukan kepada presiden yakni sebagai kepala Negara dan kepala
pemerintahan. Kedua,sistem parlementer yang meletakkan pemerintah
dipimpin oleh supremasi parlemen namun pemerintah dipimpin oleh perdana menteri
yang hanya berkedudukan sebagai kepala pemerintahan dan bukan kepala negara
sebab kepala negaranya bisa diduduki oleh raja atau presiden yang hanya menjadi
simbol kedaulatan dan persatuan. Ketiga, sistem referendum
yang meletakkan pemerintah sebagai bagian (badan pekerja) dari parlemen. Di
sementara Negara ada yang menggunakan sistem campuran antara presidensial dan
perlementer seperti yang, antara lain, dapat dilihat dari sistem ketatanegaraan
di Prancis atau di Indonesia berdasarkan UUD 1945 (Mahfudz MD, 1999: 6-7).
Kuntowijoyo
membagi demokrasi menjadi 5 macam yaitu; Pertama,Demokrasi Politik,
di mana keberhasilan pembangunan politik menuju masyarakat industrial dapat
diukur dengan pembentukan sistem yang legal-rasional. Perangkat (birokrasi, kekuasaan) dan
mekanisme politik legal rasional merupakan salah satu syarat internal dalam
menghadapi perdagangan bebas. Kedua, Demokrasi sosial, dimana
dimaksudkan bagaimana menanggulangi kemiskinan absolut dan kesenjangan natural.
Jika dikaitkan dengan konsep Islam sejalan misalnya Q.S An-Nahl : 71 yang
berisi pesan. 1). Kelebihan seseorang atas lainnya adalah sunatullahyang
takkan berubah. 2). Seruan untuk membagi rezeki (distributive justice).
Kaidah pertama bersifat individualisme. Tetapi, kaidah kedua bersifat
kolektivisme. Di mana, Islam berdiri diantara keduanya. Ketiga, Demokrasi
Ekonomi (productive justice), di mana berusaha untuk menghilangkan
kesenjangan struktural. Keempat, Demokrasi Kebudayaan,
dipahami dalam arti kebudayaan itu pada dasarnya adalah unik (satu-satunya),
pertikular, hanya berlaku di satu tempat dan satu waktu. Karena itu
berciri-ciri khusus, identitas, dan kepribadian.
Budaya dapat pula menimbulkan penyakit,
seperti tidak konsisten, diskriminasi, konflik, kontradiksi dan
etnosentrisme. Kelima,Demokrasi Agama, dimaknai sebagai
hubungan antara Negara dan agama, hubungan antaragama, hubungan intra agama,
dan hubungan agama dengan kebudayaan.
1.
Pengertian Negara Hukum Dan Demokrasi
a. Pengertian Negara Hukum
Negara Hukum, adalah sistem yang
terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Dari bentuk penyalahgunaan
kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan
bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat
terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara
negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja
bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan
politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif
hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara
hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan
mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf
Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik
dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."
Tipe
Negara Hukum,
Tipe negara yang ditinjau dari sisi hukum adalah penggolongan negara-negara
dengan melihat hubungan antara penguasa dan rakyat. Negara hukum timbul ebagai
reaksi terhadap kekuasaan raja-rajayang absolute. Ada 3 tipe Negara hukum,
yaitu:
a. tipe Negara Hukum Liberal, Tipe Negara hukum Liberal ini menghandaki supaya Negara berstatus pasif artinya bahwa warga Negara harus tunduk pada peraturan-peraturan Negara. Penguasa dalam bertindak sesuai dengan hukum. Disini kaum Liberal menghendaki agar penguasa dan yang dikuasai ada suatu persetujuan dalam bentuk hukum, serta persetujuan yang menjadi penguasa.
a. tipe Negara Hukum Liberal, Tipe Negara hukum Liberal ini menghandaki supaya Negara berstatus pasif artinya bahwa warga Negara harus tunduk pada peraturan-peraturan Negara. Penguasa dalam bertindak sesuai dengan hukum. Disini kaum Liberal menghendaki agar penguasa dan yang dikuasai ada suatu persetujuan dalam bentuk hukum, serta persetujuan yang menjadi penguasa.
b. tipe Negara Hukum Formil, Negara hukum Formil yaitu Negara hukum
yang mendapatkan pengesahan dari rakyat, segala tindakan penguasa memerlukan
bentuk hukum tertentu, harus berdasarkan undang-undang. Negara Hukum formil ini
disabut juga dengan Negara demokratisyang berlandaskan Negara hukum.
c. tipe Negara Hukum Materiil, Negara Hukum Materiil sebenarnya
merupakan perkembangan lebih lanjut dari Negara Hukum Formil; tindakan penguasa
harus berdasarkan undang-undang atat berlaku asas legalitas, maka dalam negara
hukum Materiil tindakan dari penguasa dalam hal mendesak demi kepentingan warga
Negara dibenarkan bertindak menyimpang dari undang-undang atau berlaku asas
Opportunitas.
Prinsip-prinsip Negara Hukum
Indonesia
Negara hukum adalah negara yang menempatkan hukum pada
tempat yang tertinggi,yang meliputi perlindungan terhadap hak asasi manusia,
pemisahan kekuasaan, setiap tindakan pemerintah didasarkan pada peraturan
perundang-undangan, dan adanya peradilan yang berdiri sendiri.
Prinsip-prinsip
negara hukum meliputi hal-hal sebagai berikut :
- pengakuan
dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang mengandung persamaan
dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan;
- peradilan
yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu
kekuasaan atau kekuatan apa pun, dan
- legalitas
dalam arti hukum.
Perwujudan
Negara Hukum
Tipe negara yang ditinjau dari sisi hukum adalah
penggolongan negara-negara dengan melihat hubungan antara penguasa dan rakyat.
Negara hokum timbul ebagai reaksi terhadap kekuasaan
raja-rajayang absolute. Ada 3 tipe
Negara hukum, yaitu :
a.
tipe Negara Hukum Liberal, Tipe Negara hukum Liberal ini menghandaki suopaya Negara
berstatus pasif artinya abhwa warga Negara harus tunduk pada
peraturan-peraturan Negara. Penguasa dalam bertindak sesuai dengan hukum.
Disini kaumLiberal menghendaki agar penguasa dan yang dikuasai ada suatu
persetujuan dalam bentuk hukum.
b. tipe Negara Hukum Formil, Negara hukum Formil yaitu Negara
hukum yang mendapatkan pengesahan dari rakyat, segala tindakan penguasa
memerlukan bentuk hukum tertentu, harus berdasarkan undang-undang. Negara Hukum
formil ini disabut juga dengan Negara demokratisyang berlandaskan Negara hukum.
c. tipe Negara Hukum Materiil, Negara Hukum Materiil sebenarnya
merupakan perkembangan lebih lanjut dari Negara Hukum Formil; tindakan penguasa
harus berdasarkan undang-undang atat berlaku asas legalitas, maka dalam
negara hukum Materiil tindakan dari penguasa dalam hal mendesak demi
kepentingan warga Negara dibenarkan bertindak menyimpang dari undang-undang
atau berlaku asas Opportunitas.
ARISTOTELES, merumuskan Negara hukum adalah Negara yang
berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan
merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga Negara dan
sebagai daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia
agar ia menjadi warganegarayang baik. Peraturan yang sebenarnya menurut
Aristoteles ialah peraturan yang mencerminkan keadilan bagi pergaulan antar
warga negaranya .maka menurutnya yang memerintah Negara bukanlah manusia melainkan
“pikiran yang adil”. Penguasa hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan saja.
b.
Pengertian Demokrasi
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme
sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat
(kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara
tersebut.
Salah
satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga
kekuasaan politik negara ( eksekutif, yudikatif dan legislatif )
untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas ( independen
) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan
independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga
negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip check and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah
lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan
melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang
menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat
(DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan
legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat
atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat
yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan
umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau
hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh
melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti
oleh seluruh warga negara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara
sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara
berhak untuk memilih ( mempunyai hak pilih ). Kedaulatan rakyat yang dimaksud
di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota
parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan
presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara
tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri
secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat.
Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu
pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir
lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola,
bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal
sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek
daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara.
Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang
telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki
catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
Sejarah Demokrasi
Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang tepatnya
diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut dianggap sebagai
contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern.
Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi
modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem
“demokrasi” di banyak negara.
Kata
“demokrasi” berasal dari dua kata,
yaitu demos yang berarti rakyat, dankratos/cratein yang
berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat,
atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam
bidang ilmu politik. Hal ini disebabkan karena demokrasi saat ini disebut-sebut
sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian
kekuasaan dalam suatu negara umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica
dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi
sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat
kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk
membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah
seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang
lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri
anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan
aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap
lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus
ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara
dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi
kekuasaan lembaga negara tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pengalaman masa lalu bangsa kita, kelihatan bahwa
demokrasi belum membudaya. Kita memang telah menganut demokrsai dan bahkan
telah di praktekan baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam kehidupan
bebangsa dan bernegara. Akan tetapi, kita belum membudanyakannya. Membudaya
berarti telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Mengatakan “Demokrasi
telah menjadi budaya” berarti penghayatan nilai-nilai demokrasi telah menjadi
kebiasaan yang mendarah daging di antara warga negara. Dengan kata lain,
demokrasi telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari
kehidupanya. Seluruh kehidupanya diwarnai oleh nilai-nilai demokrasi.
Namun, itu belum terjadi. Di media
massa kita sering mendengar betapa sering warga negara, bahkan pemerintah itu
sendiri, melanggar nilai-nilai demokrasi. Orang-orang kurang menghargai
kebabasan orang lain, kurang menghargai perbedaan, supremasi hukum kurang
ditegakan, kesamaan kurang di praktekan, partisipasi warga negara atau orang
perorang baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan pilitik belum
maksimal, musyawarah kurang dipakai sebagai cara untuk merencanakan suatu
program atau mengatasi suatu masalah bersama, dan seterusnya. Bahkan dalam
keluarga dan masyarakat kita sendiri, nilai-nilai demokrasi itu kurang di
praktekan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar