Kamis, 30 April 2020

DAMPAK PANDEMI TERHADAP INVESTASI MASA DEPAN (PEMUDA)

Oleh : Anggi Dwi Putra, S.H

History has always been shaped by the power of youth." [Daisaku Ikeda]

Kutipan kalimat tokoh nasional Jepang diatas memberikan semangat bahwa, Sejarah besarnya Negara Republik Indonesia di masa depan, ditentukan oleh pemudanya saat ini. 

Coronavirus telah menjadi pandemi, menyebar melalui masyarakat dan melumpuhkan beberapa sektor ekonomi, kaum muda, yang jumlahnya kira-kira seperempat dari populasi Indonesia, secara tidak proporsional menghadapi risiko ekonomi.

sejatinya pemuda memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam perekonomian nasional, mengingat mereka merupakan aktor dalam akselerasi pembangunan. Namun demikian, Pemuda adalah elemen masyarakat yang sangat rentan terdampak krisis Corona dalam aspek ekonomi hingga tiga kali lebih mungkin menjadi pengangguran daripada orang dewasa.

Sebagai respon atas penyebaran masif coronavirus ke hampir seluruh daerah, banyak perusahaan swasta, organisasi dan institusi pemerintah membatalkan kegiatan, menyetop produksi sementara, menerapkan “work from home” bagi karyawan. Banyak Kota dan kabupaten bahkan mengambil langkah-langkah penting untuk mencoba dan mengurangi tingkat penyebarannya, termasuk melarang pertemuan atau acara besar, menutup sekolah, membatasi masuk, dan bahkan mendirikan zona pembatasan masyarakat melalu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSSB). Lebih jauh, ancaman virus corona mempengaruhi perilaku sosial, termasuk karantina diri dan jarak fisik antar individu masyarakat, membatasi publik dan kontak antarpribadi.

Dampak negatif terhadap ekonomi sangat jelas terasa, pada pekerja muda dan usaha kecil menengah yang cenderung signifikan. Menurut International Labor Organization, pengangguran kaum muda secara global mengalami kenaikan saat terjadi krisis.

Kaum muda cenderung bekerja dalam pekerjaan musiman, temporer, informal, dan lebih cenderung untuk pekerjaan freelance atau paruh waktu tanpa diberikan tunjangan kesehatan atau cuti berbayar. Kondisi ini membuat kaum muda lebih rentan terhadap pemotongan pekerjaan atau kontrak, pemberhentian hubungan kerja secara sepihak, dan selanjutnya mengalami pengangguran jangka panjang.

Terlebih lagi, pekerja muda banyak mengisi sektor pekerjaan dengan keterammpilan rendah di ritel dan sektor jasa pelayanan (termasuk perhotelan, bisnis makanan dan cafe) yang sangat rentan terdampak Corona.

Persentase pemuda laki-laki yang bekerja lebih besar daripada perempuan, dan lebih dari separuh pemuda bekerja berada pada kelompok umur 19-24 tahun dan 25-30 tahun. Selain itu, masih terdapat pemuda usia 16-18 tahun yang bekerja, padahal usia tersebut masih termasuk usia sekolah.

Pemuda yang terlibat dalam kegiatan ekonomi cukup tinggi, hal ini dinyatakan dengan nilai Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Artinya, sekitar tiga dari lima pemuda sedang bekerja, mempersiapkan pekerjaan, atau mencari pekerjaan.

Isu Pengangguran kaum muda ini menjadi satu konsen dan fokus pemerintah melalui serangkaian kebijakan dan program untuk mendukung kaum muda mengatasi goncangan jangka pendek dari coronavirus.

Pemerintah, swasta dan masyarakat harus bergerak seirama menyelamatkan pemuda agar visi bonus demografi bisa tercapai untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Apapun kondisi akibat Pandemi Corona, program dan kebijakan pengembangan dan pemberdayaan pemuda harus tetap berjalan sebagai bagian dari pembangunan nasional. Alokasi Anggaran Negara harus memprioritaskan pembangunan pemuda sebagai salah satu aset masa depan republik ini.

Langkah bersama dengan sektor swasta, BUMN, pemerintah daerah dan seluruh elemen masyarakat, dalam program pengembangan dan pemberdayaan kaum muda diarahkan untuk membuka akses pemuda menjangkau sumber daya secara digital untuk dengan cepat mendapatkan keterampilan baru dan mendapatkan penghasilan ekonomi secara mandiri.

Disisi lain, Kemenpora, sebagai core lembaga pemerintah dalam pembangunan kepemudaan dan olahraga nasional Indonesia, harus berfokus pada penanganan pandemi Corona pasca krisis, yakni memastikan program pengembangan dan pemberdayaan pemuda tetap berjalan maksimal. 

Krisis pandemi Corona memang akan meninggalkan dampak, tapi tidak sampai menghambat, justru melahirkan inovasi dan kreasi baru dalam menstimulasi program dan kebijakan pemerintah di bidang kepemudaan dengan satu atau ribuan cara lain.

Pendidikan, pengembangan potensi kewirausahaan dan pemberdayaan pemuda diarahkan untuk dapat membantu generasi muda bisa tetap berkarya dan survive menghadapi kesulitan, stres, ketakutan dan kehilangan pekerjaan selama dan setelah krisis.

Penting untuk merancang metode khusus penyampaian program kepemudaan melalui pengajaran dan pembelajaran baru dengan penggunaan teknologi modern akan memainkan peran penting dalam mengembangkan dan memberdayakan kaum muda Indonesia yang terkena dampak pandemi Corona. 

“Seribu orang tua hanya bisa bermimpi, tapi seorang pemuda mampu mengubah dunia.” [Soekarno]

Selasa, 21 April 2020

TIBA SAATNYA RAKYAT MENUNTUT PERTANGGUNGJAWABAN PIMPINAN NEGARA


“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya”.(HR. Bukhari Muslim)

By: ANGGI DWI PUTRA, S.H
Bahwa setiap kita adalah pemimpin, siapapun kita, apakah kita sebagai presiden, menteri, gubernur, walikota, bupati, staf/pelaksana, kepala seksi maupun kepala kantor adalah merupakan pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Dalam konteks seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya.
Negara merupakan suatu titik di mana orang-orang meletakkan harapan dan cita-cita bersama. Pada titik inilah, orang-orang bersepakat untuk mengatur dan menata kehidupan dalam upaya mencapai kesejahteraan hidup bersama.
Pandangan bahwa negara sebagai perwujudan kontrak sosial, adalah buah dari pengalaman panjang manusia mengarungi peradaban di mana di dalamnya terjadi benturan dan chaos. Berangkat dari pengalaman tersebut, maka kehadiran negara sepatutnya menjadi solusi sistematis bagi problem yang di hadapi oleh masyarakat penghuni negara, yang kemudian disebut rakyat.
Demikian pula dengan pemerintah. Selaku penyelenggara negara, amanah yang harus dijalankan sebaik-baiknya adalah memastikan bahwa negara sebagai sebuah solusi sistematis dapat berjalan sebagaimana mestinya. Hadir memenuhi harapan dan cita-cita rakyatnya.
Kewajiban pemerintah ialah mencarikan jalan untuk mewujudkan tujuan bernegara yang bermuara pada kesejahteraan rakyat dalam arti yang sesungguhnya. Bukan kesejahteraan segelintir orang yang merupakan bagian dari jejaring oligarki. Kartel yang hanya bermain-main dengan kekuasaan dan kesemena-menaan.
Seperti juga halnya dengan kebijakan pemerintah belakangan ini. Sangat jauh dari pro kepada rakyat. Sangat-sangat menjengkelkan rakyat, bahkan melukai hati rakyat. Sebab kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang jauh dari harapan dan kepatutan.
Sementara itu, dikala kebijakan yang dibuat tidak lagi berpihak pada rakyat. Bahkan malah mengkhianati rakyat. Merugikan dan membikin susah hidup rakyat. Namun pemerintah sebagai pembuat kebijakan itu mengaku-ngaku sebagai pemerintah yang pro rakyat, dengan sederet pencitraan yang dibangun di atas pondasi seolah-olah memihak kepada rakyat.
Dalam konteks yang sama, janji-janji tidak kunjung dipenuhi. Pada saat ini pula, patut rasanya rakyat tidak sabar menahan kata yang harusnya tak perlu keluar jika penguasanya layak. Kekesalan rakyat yang memuncak dapat mengakibatkan munculnya ketidakpercayaan, pembangkangan, dan perlawanan rakyat yang maha dasyat nantinya.
Seorang pemimpin akan dipertanyakan atas kepemimpinannya. Apakah dalam kekuasaannya, negara membawa maslahat atau malah sebaliknya menjadi mudarat bagi rakyatnya?
Sebagaimana syari’ah, negara juga memiliki tujuan. Dan tujuan dari sebuah negara adalah untuk mencapai maslahat. Membuat masyarakatnya adil dan makmur. Demikian pula yang diamanahkan oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia.
Ketika seorang penguasa yang dengan kekuasaannya memerintah negara, namun kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak berpihak pada kepentingan rakyat, maka pemerintahan semacam itu bukanlah pemerintahan yang membawa negara kepada maslahat atau kebaikan kepada rakyat sebagai sebuah maqasid atau tujuan bernegara.
Telah menjadi kewajiban bagi kita untuk mengingatkan penguasa. Tujuannya, agar penguasa menyadari bahwa apa yang dilakukan dengan pemerintahannya saat ini adalah keliru. Bahwa bahtera bernama Indonesia ini harus kembali diarahkan ke tujuan berbangsa dan bernegara. Mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai perintah konstitusi negara.
Ibaratnya dalam sholat berjamaah, ketika imam lupa atau salah, maka makmum harus mengingatkan dengan kode subhanallah. Saat ini, pemerintah merasa tidak ada yang salah dengan kebijakan-kebijakan yang ada. Atas nama perubahan, pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang wajib kita pertanyakan. Kepada siapa pemerintah ini berpihak?
Rakyat sebagai makmum, wajib hukumnya mengingatkan kesalahan penguasa dengan kode berupa kritikan. Kritikan yang dimaksud merupakan perubahan ke arah mana?  Perubahan untuk siapa?  Apakah ia perubahan yang membawa perbaikan atau pengrusakan?  Apakah akan membawa maslahat atau mudarat?
Suatu perubahan atau islah, yang membawa kita ke arah maslahat, ke arah perbaikan. Jika ada perubahan yang pada kenyataannya membawa kepada mudarat, yang membawa kerusakan, maka itu bukanlah perubahan, melainkan pengrusakan. Mudarat yang mengatasnamakan perubahan.
Seorang penguasa, atau sebuah pemerintahan seharusnya berlaku adil. Sebab perilaku adil mendekatkan penguasa kepada taqwa. Adil itu, seharusnya sudah dimulai sejak dari pikiran. Sejak dari kata-kata. Sebab dusta pemimpin terhadap rakyatnya adalah penghianatan yang sangat menyakitkan.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil. Sungguh Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS/4:58).

Realita yang kita hadapi saat ini, seharusnya menjadi bahan pertimbangan, untuk menentukan arah perjalanan politik. Arah tujuan bernegara kita di tahun mendatang. Bahwa jika kita menginginkan perubahan yang benar-benar perubahan dalam arti islah. Untuk mencapai maslahat dan perbaikan.
Sudah saatnya kita sebagai rakyat, harus berani meminta pertanggung jawaban dari seorang pemimpin negara atas kepemimpinannya. Tujuanya, agar perubahan memberi itu dapat memberikan maslahat. Kebaikan kepada seluruh rakyat.

Kamis, 16 April 2020

TEKNIK PERUNDANG-UNDANGAN [TEKPER] SEJARAH, DASAR DAN FUNGSI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Oleh : ANGGI DWI PUTRA, S.H


A.    
Sejarah Singkat Hierarki Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia
Berbicara peraturan perundang-undangan di Indonesia tentu tidak bisa lepas dari masalah hierarkinya. Mengapa??
Hal ini Dikarenakan hierarki Peraturan Perundang-undangan ini sangat erat kaitannya dengan tingkat kekuatan peraturan perundang-undangan tersebut. Semakin tinggi levelnya, semakin kuat jurus-jurusnya, semakin susah peraturan perundang-undangan tersebut untuk dikalahkan.
Dalam sejarahnya, hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia beberapa kali mengalami perubahan meski tidak drastis. “Yah..mirip-miriplah kayak klasemen English Premier League sebelum adanya Leicester City.” Hehehe…..
Hierarki peraturan perundang-undangan pertama kali muncul meski secara tersirat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang ditetapkan beberapa hari setelah kita merdeka. Pada saat itu, ada tiga jenis peraturan perundang-undangan yang dikenal yaitu Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), dan Peraturan Pemerintah. Belum terlihat hierarkinya namun dapat dilihat bahwa posisi Peraturan Pemerintah berada dibawah Undang-Undang dan PERPU. Ini karena Peraturan Pemerintah merupakan suatu jenis peraturan yang dibuat untuk menjalankan Undang-Undang. Ini cikal bakal hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Perubahan pertama hierarki peraturan perundang-undangan dimulai Pasca keluarnya Dekrit Presiden tepatnya pada tanggal 20 Agustus 1959. Presiden mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor: 2262/HK/1959 yang berisikan bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan lain selain sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Perubahan kedua pada tanggal 9 Juni 1966, klasemen peraturan perundang-undangan diubah melalui (Ketetapan MPR) Nomor: V/MPR/1973. Perubahan ketiga terjadi Pasca reformasi 1998, tata urutan atau hierarki peraturan perundang-undangan kembali diubah melalui Ketetapan MPR Nomor: III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Peraturan Perundang-undangan. Kemudian Pada tahun 2004, hierarki peraturan perundang-undangan kembali diubah melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Perubahan terakhir, terhadap hierarki peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan pada tanggal 12 Agustus 2011 melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam pasal 7 ayat (1) undang-undang tersebut, hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a)     UUD 1945
b)     Ketetapan MPR
c)      Undang-Undang / PERPU
d)     Peraturan Pemerintah
e)     Peraturan Presiden
f)       Peraturan Daerah Provinsi
g)     Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Nah, hierarki peraturan perundang-undangan inilah yang berlaku sampai dengan saat ini, setidaknya yang menjadi acuan kita hingga sekarang.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, semakin tinggi peraturan perundang-undangan dalam hierarkinya, semakin kuat jurus-jurusnya, semakin susah untuk dikalahkan. Jadi jangan harap Peraturan Daerah Provinsi bisa mengalahkan Undang-Undang. Beda level. Ini juga sesuai dengan salah satu asas hukum yaitu “lex superior derogat legi inferiori” Yang artinya . . . . . .
(yang tau artinya tulis di kolom komentar yaa)

B.     Dasar Pembuatan Perundang-undangan
Dalam Teknik pembuatan undang-undang ada salah satu asas, yaitu asas dapat dilaksanakan yang memiliki arti bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik landasan secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Lalu apa yang dimaksud dengan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis? Berikut penjelasannya:
1.      Landasan Filosofis (Pancasila)
Landasan filosofi biasa dikenal oleh dunia internasional dengan istilah filisofische grondslag. Maksud dari landasan ini yaitu ketika suatu peraturan perundang-undangan hendak dibentuk, maka ia harus sesuai dengan cita-cita dan pandangan hidup rakyat. peraturan perundang-undangan juga dikatakan memiliki landasan filosofis ketika ia sesuai dengan cita-cita dan filsafat kehidupan bangsa. Jika kita berbicara dalam sudut pandang rakyat Indonesia, maka sebuah peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan filsafat kehidupan bangsa ini, yaitu nilai-nilai dasar Pancasila.
2.      Landasan Sosiologis (Masyarakat)
Landasan sosiologis. dalam istilah internasional, landasan sosiologis biasa disebut sebagai sociologische groundslag. Maksud dari landasan sosiologis bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu ketentuan yang terdapat di dalamnya harus bersesuaian dengan peraturan perundang-undangan kesadaran hukum di tengah masyarakat, keyakinan umum, tata nilai dan norma, serta hukum yang ada di tengah masyarakat agar peraturan perundang-undangan yang hendak dibuat dapat di laksanakan.
3.      Landasan Yuridis (Undang-Undang Dasar 1945)
Landasan yuridis biasa dikenal oleh dunia internasional dengan istilah rechtsground. Maksud dari landasan ini yaitu suatu peraturan perundang-undangan harus memiliki dasar yuridis (dasar hukum), legalitas, dan landasan hukum yang terdapat di dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi atau sederajat menurut hierarki peraturan perundang-undangan. Disisi lain, landasan yuridis juga dapat digunakan untuk mempertanyakan apakah peraturan perundang-undangan yang hendak dibuat telah dilaksanakan sesuai kewenangan dari lembaga negara yang hendak mengeluarkannya tersebut.

C.      Fungsi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Fungsi pembentukkan peraturan perundang-undangan sangat penting karena negara berdasarkan akan hukum. Tujuan utama pembentukan undang-undang bukan menciptakan kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat, melainkan menciptakan modifikasi atau perubahan dalam masyarakat.
Undang-undang modifikasi bertujuan mengubah pendapat hukum yang berlaku dan peraturan perundang-undangan yang mengubah hubungan-hubungan sosial.
Dengan pembentukkan undang-undang melalui cara modifikasi, maka diharapkan suatu undang-undang dan pembentukannya sesuai dengan tuntutan dan perkembangan Masyarakat.


“Naaaaahhh… Itulah sejarah, dasar dan fungsi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Semoga tulisan ini bisa mencerahkan kawan-kawan semua dalam memahami sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia."

Senin, 13 April 2020

GERAK CEPAT DALAM MEMINIMALISIR DAMPAK DARI PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2020

[By : ANGGGI DWI PUTRA, S.H]

Implikasi pandemi Covid-19 berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial, serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak Perpu juga mengantisipasi bahwa implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan.
Strategi Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan APBN khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
Melihat situasi global, dunia sedang kerja keras menghadapi Covid-19, kondisi ini telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perppu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Sekaligus guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah taktis dan strategis dalam waktu yang sangat segera. Kita semua sepakat keselamatan rakyat adalah hal yang utama.

Langkah Yang Harus Dilakukan

Selayaknya langkah preventif juga patut kita apresiasi dimana Ketua KPK Firli Bahuri  mengingatkan kepada seluruh pihak agar tak melakukan tindak pidana korupsi di tengah wabah covid-19. Ia menyebut pelaku korupsi di saat bencana bisa diancam dengan hukuman mati. Apalagi di saat sekarang, kita sedang menghadapi wabah covid-19. Untuk itu agar pengadaan barang dan jasa dapat dilakukan secara cepat dan responsif. Kita semua sepakat keselamatan rakyat adalah hal yang utama. Walau dalam Perppu ini segala uang yang dikeluarkan adalah biaya ekonomi bukan kerugian negara. Itikad baik menjadi landasan utama.
Sekarang yang perlu dipacu adalah stimulus ekonomi setelah dikeluarkannya Perppu 1/2020, secara cepat, nyata, responsif terhadap sektor keuangan dan transparan. Stimulus ekonomi yang diberikan Pemerintah melalui Perppu 1/2020 harus dibarengi dengan kebijakan fiskal dan moneter yang memadai dan sesuai. Hal ini agar dapat mendorong efisiensi waktu dan efektivitas dari kebijakan tersebut semakin cepat dan nyata. Sekaligus ada skema teknis dan alur distribusi angaran untuk sektor-sektor yang terdampak seperti sektor kesehatan, sosial, ekonomi, dan sektor strategis lain, juga harus dialokasikan dengan data yang valid dan mutakhir untuk masyarakat yang kehilangan mata pencaharian karena Covid-19, sehingga bisa tepat sasaran.
Dengan Perppu, tidak ada alasan Pemerintah tidak responsif terhadap sektor keuangan. Dikarenakan sektor keuangan menjadi salah satu sektor yang paling tertekan karena merebaknya Covid-19. Ini antisipasi dimana nilai rupiah begitu tertekan sebagai akibat Pemerintah menghadapi kendala yang multidimensional sehingga berkesan lamban menangani Covcid-19. Akibatnya berbagai indikator seperti nilai rupiah, menunjukkan penurunan signifikan, bahkan di bawah nilai fundamentalnya. Tidak sedikit investor yang melepas kepemilikan aset-aset keuangan di Indonesia dan akhirnya menekan rupiah dalam level signifikan.

ILUSTRASI DAN PANDANGAN PENEGAKAN HUKUM DIMASA PANDEMI COVID-19

[Oleh : ANGGI DWI PUTRA, S.H]

Perintah kapolri melalui surat telegram dapat dipahami sebagai kebutuhan dalam mendukung upaya pemerintah melawan Covid-19, utamanya penanganan kejahatan potensial dalam masa penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dalam masa penerapan PSBB, Kapolri menunjukkan keseriusannya dengan memerintahkan jajarannya untuk menindak potensi kejahatan pasca pengumuman kedaruratan kesehatan dan pembatasan sosial berskala besar oleh pemerintah. Saat ini Perintah Kapolri tersebut secara letterlijk menjadi pemahaman jajaran kepolisian, misalnya Kapolda Metrojaya dalam pernyataannya dikutip oleh Media detikcom 9 April 2020, yang menurutnya “ada beberapa ketentuan pidana yang bias diterapkan kepada masyarakat seperti UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan kesehatan…”. Dalam keadaan seperti ini, institusi Kepolisian terkesan tidak memahami bahwa PSBB itu diatur hanya dalam UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan kesehatan, sehingga penerapan pidana terhadap pelanggaran PSBB tidak relevan lagi menggunakan ketentuan pidana yang diatur dalam UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan/atau UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana lagi.
Meskipun menjadi opsi terakhir, penegakan hukum memang sudah sepatutnya diterapkan pada situasi wabah Covid-19. Penegakan hukum tentu saja untuk menggapai kedisiplinan dan ketertiban masyarakat dengan memanfaatkan efek hukum sebagai tool of sosial engineering sebagaimana pendapat Roscoe Pound yang menyatakan hukum dapat berfungsi melakukan rekayasa masyarakat agar tingkah laku atau pola-pola yang ada didalam masyarakat sesuai dengan hukum.
Yang banyak menjadi sorotan masyarakat adalah arahan Kapolri melalui surat telegram ketiga terkait penanganan kejahatan di ruang siber. Sebagai penegak hukum langkah Polri untuk mengurangi penyebaran hoax dengan penerapan pasal 14 dan 15 UU No. 1 tahun 1946, dapat diacungi jempol. Akan tetapi disisi lain, ancaman menerapkan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa umum, ditakutkan hanya sebagai upaya Polri sebagai tameng melindungi pemerintah dari kritikan tajam rakyat dalam upaya mengatasi wabah Covid-19. Pada saat yang sama kebebasan berpendapat rakyat dijamin oleh konstitusi Pasal 28 UUD 1945.
Pada situasi abnormal akibat Covid-19 ini, Kapolri terkesan abai dengan kondisi psikologi rakyat Indonesia yang juga menginginkan keadaan kembali normal. Pemerintah jangan baper, sepanjang kritikan tersebut konstruktif tentu tidak boleh dianggap sebagai suatu hal yang hina dan menistakan penguasa. Ketika pemerintah keliru, maka wajar saja rakyat marah, kemudian mengkritik. Ketika kemudian kritikan itu dianggap sebagai kejahatan, maka secara tidak langsung kejahatan itu buah dari pemerintah sendiri. Sesuai dengan pendapat aliran bio sosiologis kriminal, E. Feri yang menyatakan kejahatan itu adalah hasil dari faktor-faktor individual dan sosial.
Meski menuai pro dan kontra, sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum maka pendekatan represif sebagai ultimum remidium juga tetap dibutuhkan. Law enforcement menjadi salah satu upaya sosial kontrol pada situasi dimana kehidupan masyarakat terganggu dengan wabah Covid-19, yang diperparah dengan beban sosial ekonomi dan psikologi yang dihasilkan dari penerapan kebijakan PSBB yang membatasi pergerakan masyarakat dan memaksa harus tinggal dirumah. Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, dapat memaklumi upaya pemerintah menerapkan PSBB sebagai bagian dari pelaksanaan kekarantinaan kesehatan mencegah penyebaran Covid-19. Yang tidak boleh dilupakan, penerapan PSBB membawa pengaruh signifikan bagi masyarakat Indonesia yang berpenghasian harian, dan tidak dapat dipungkiri kondisi ini membuat mereka menjadi sangat dilematis.

Penyelesaian Dan Langkah Penegakan Hukum.

Banyak kalangan menilai, arahan kapolri melalui surat telegram tersebut, dalam konteks penegakan hukum dimasa pandemi ini kontra produktif dengan kebijakan pemerintah. Misalnya dengan kebijakan Menkumham untuk melepaskan narapidana / anak untuk mencegah penularan Covid-19 dalam kondisi lapas yang overcapacity, berkebalikan kapolri malah terkesan berkeinginan memenuhi penjara pada situasi Covid-19.
Dengan mengedepankan niat demi kemaslahatan bersama, institusi Polri tetap harus bertindak secara humanis tanpa mengurangi profesionalisme dan menjunjung tinggi hak azasi manusia (HAM). “Rakyat sedang susah. Psikologis masyarakat, bukan hanya di Jakarta, sedang tertekan oleh penyebaran virus Corona. Oleh sebab itu, aparat yang bertugas di lapangan harus mengedepankan langkah persuasif dan humanis. Ketegasan harus ditunjukkan sebagai bukti nyata kehadiran negara, tetapi prinsip profesional, modern, dan terpercaya juga mesti dipertahankan”.
Untuk itu, alih-alih melakukan pendekatan hukum represif, ada baiknya penegak hukum lebih mengutamakan hukum restitusif. Kebijakan penanggulangan kejahatan (Criminal policy), harus diarahkan pada pencegahan dan mengembalikan keadaan semula seperti sebelum terjadinya pelanggaran. Meskipun tidak menutup ruang, penegakan represif tersebut dilakukan khususnya kejahatan terhadap ketertiban umum (public order crime).
Secara holistik, pemerintah secara institusi harus extra hati-hati dalam mengambil sikap terkait situasi Covid-19. Setiap upaya dan langkah yang diambil masing-masing lembaga negara ditujukan dalam rangka menyelamatkan rakyat tanpa terkecuali. Dibutuhkan upaya komprehensif sistematis dari pengambil kebijakan negara dengan pola integratif dan interkonektif dalam mengatasi wabah Covid-19 ini. Tidak ada toleransi terhadap kesalahan, maupun kebijakan yang kontra produktif antara satu dengan yang lainnya.

Akhir kata “Mari Tong tuntaskan hal luar biasa, dengan cara-cara yang luar biasa.

Minggu, 12 April 2020

KEBIJAKAN LOCKDOWN DAN INFRASTRUKTURNYA DALAM HUKUM INDONESIA.

[Oleh : ANGGI DWI PUTRA, S.H]
Secara harfiah, lockdown sendiri dapat diartikan kuncian atau mengunci. Lockdown merupakan protokol untuk mengisolasi suatu wilayah agar populasi di dalamnya tidak keluar dari wilayah tersebut. Protokol ini bersifat temporer dan bisa dicabut sewaktu-waktu, jika kondisi dianggap telah membaik.
Merujuk pada definisi kamus Merriam Webster, lockdown artinya ialah mengurung warga atau sebagian warga untuk sementara demi menjaga keamanan. Lockdown juga diartikan sebagai tindakan darurat ketika orang-orang dicegah meninggalkan atau memasuki suatu kawasan untuk sementara, demi menghindari bahaya. Sedangkan menurut Oxford University Press, pengertian lockdown adalah sebuah perintah resmi untuk mengendalikan pergerakan orang atau kendaraan di dalam suatu wilayah karena adanya situasi berbahaya.
Lindsay Wiley, Profesor Hukum dan Etika Kesehatan Publik dari Washington College berpendapat bahwa istilah lockdown yang selama ini sering digunakan pers dalam memberitakan isu corona bukan istilah teknis yang punya arti spesifik. Wiley mengatakan, lockdown dalam perspektif kesehatan publik jika merujuk apa yang sudah China dan Italia lakukan adalah upaya menciptakan sebuah karantina geografis, atau dikenal juga sebagai cordon sanitaire yang berarti membuat sebuah pembatas dan mencoba untuk menghentikan orang untuk masuk atau keluar (dari sebuah wilayah tertentu) dengan pengecualian untuk pengiriman barang atau orang untuk menjaga keperluan penting.
Pada intinya, lockdown merupakan sebuah kebijakan pengamanan terhadap sebuah ancaman (dalam hal ini penyebaran virus corona). Kebijakan ini harus lengkap dengan jaminan keamanan dan keperluan sosial untuk warga, seperti suplai makanan, kesehatan, pendidikan dan hal penting lainnya meskipun sedang diisolasi.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sebetulnya tidak ditemukan padanan dari istilah lockdown ini namun menurut Menko Polhukam Mahfud Md, dalam bahasa resmi hukum Indonesia dikenal adanya istilah Karantina  Wilayah sebagimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Menurut Pasal 1 ayat (1) UU tersebut diebutkan  ‘Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat,” kemudian dalam ayat 2-nya, mengatakan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.
Dalam UU No. 6 tahun 2018 diatur beberapa jenis karantina diantaranya Karantina Rumah, Karantina Wilayah dan Karantina Rumah Sakit. Lalu ada juga yang disebut dengan Pembatasan Sosial. Penjelasan ini ada di pasal 49.
Karantina Rumah diatur dalam Pasal 50, 51 dan 52, Karantina Rumah dilakukan hanya kalau kedaruratannya terjadi di satu rumah. Karantina ini meliputi orang, rumah dan alat angkut yang dipakai. Orang yang dikarantina tidak boleh keluar, tapi kebutuhan mereka dijamin oleh negara.
Karantina Wilayah diatur dalam Pasal 53, 54 dan 55. Karantina jenis Inilah yang sering dipersamakan dengan lockdown berdasarkan kemiripan karakter dan mekanismenya. Syarat pelaksanaan karantina wilayah harus ada penyebaran penyakit di antara masyarakat dan harus dilakukan penutupan wilayah untuk menangani wabah ini. Wilayah yang dikunci dikasih tanda karantina, dijaga oleh aparat, anggota masyarakat tidak boleh keluar masuk wilayah yang dibatasi, dan kebutuhan dasar mereka wajib dipenuhi oleh pemerintah.
Karantina Rumah Sakit diatur Pada Pasal 56, 57 dan 58 karantina ini dilakukan kalau seandainya memang wabah bisa dibatasi hanya di dalam satu atau beberapa rumah sakit saja. RS akan dikasih garis batas dan dijaga, dan mereka yang dikarantina akan dijamin kebutuhan dasarnya.
Pembatasan sosial (Social Distancing) skala besar yang sekarang telah diterapkan pemerintah pusat dan daerah diatur di pasal 59. Pembatasan sosial berskala besar merupakan bagian dari upaya memutus wabah, dengan mencegah interaksi sosial skala besar dari orang-orang di suatu wilayah. Paling sedikit yang dilakukan adalah sekolah dan kantor diliburkan, acara keagamaan dibatasi atau kegiatan yang skalanya besar dibatasi. Ini yang minimal. Yang lebih tinggi lagi juga bisa, misalnya penutupan toko dan mall, penutupan tempat hiburan yang banyak dikunjungi orang, atau tindakan apapun yang tujuannya mencegah orang banyak berkumpul.
Selain UU Karantina Kesehatan tersebut, terdapat juga ketentuan lain, yakni Undang-undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit , yang dalam Pasal 1 huruf a, menyebutkan Wabah penyakit menular adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu, serta dapat menimbulkan malapetaka. Pada furuf b-nya mengatakan, sumber penyakit adalah manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda yang mengandung dan/atau tercemar bibit penyakit, serta yang dapat menimbulkan wabah.
Dalam kondisi penularan suatu penyakit meningkat secara nyata, maka Pasal 4 ayat (1) UU tersebut menyebutkan, Menteri menetapkan daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah wabah, selanjutnya dalam ayat 2, bahwa Menteri mencabut penetapan daerah wabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sedangkan dalam ayat 3-nya, mengatakan Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Syarat utama untuk dapat dilakukan Karantina Wilayah adalah penentuan status darurat kesehatan nasional oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini adalah Presiden, yang diikuti dengan pembentukan satuan tugas untuk melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi sebuah wabah penyakit. Sebagaimana diuraikan dalam Bab IV tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Pasal 10 sampai 14 UU No. 6 Tahun 2018.

URGENSI LOCKDOWN DAN PENERAPAN ASAS “SALUS POPULI SUPREMA LEX ESTO”.


[Oleh : ANGGI DWI PUTRA, S.H]
Dalam tatanan global ada kecenderungan pergeseran dari pendekatan ‘social distancing’ ke ‘lockdown’ yang terjadi di beberapa negara, dimana menurut beberapa pakar hal ini dilakukan ketika kasus sudah mencapai 1.000, maka negara sudah harus mempertimbangan dengan serius untuk kemungkinan ‘lockdown’.
Saat ini setidak-tidaknya 19 Negara telah memberlakukan kebijakan lockdown atau karantina wilayah seperti China, Italia, Spanyol, Perancis, bahkan Malaysia dan Filipina. Walaupun pada prakteknya, setiap negara punya kebijakan teknis dan penerapan lockdown yang berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya.
Kebijakan karantina wilayah sendiri belum diambil oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia dengan alasan karena pemberlakukan Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan sebagai payung hukum pencegahan penularan Covid-19 masih terganjal karena belum adanya Peraturan Pemerintah yang merupakam turunan dari undang-undang tersebut  yang mengatur secara teknis pelaksanaan karantina kesehatan termasuk karantina wilayah.
Walaupun secara faktual di beberapa pemerintahan daerah di Indonesia telah berinisiasi untuk melakukan karantina wilayah secara lokal dengan menutup akses masuk dan keluar wilayahnya yang hal tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan karena karantina wilayah adalah domain pemerintah pusat jika merujuk Pasal 11 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan, yang menyatakan “Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan pada Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat secara cepat dan tepat berdasarkan besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, dan teknik operasional dengan mempertimbangkan kedaulatan negara, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya”.
Berdasarkan situasi tersebut pula maka saat ini Pemerintah Pusat sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (PP) untuk melaksanakan apa yang disebut karantina kewilayahan yang rencananya akan mengadopsi penerapan lockdown seperti di Belanda karena penerapan karantina wilayah tersebut dianggap paling sesuai diterapkan di Indonesia.
Diharapkan dalam PP tersebut, Pemerintah menuangkan berbagai aturan penting yang harus diikuti semua pihak selama karantina wilayah. ada banyak aspek kehidupan sosial dan ekonomi yang harus diatur agar PP tersebut tidak berdampak terlalu buruk bagi kehidupan masyarakat.
Karena patut dipertimbangkan juga bahwa karantina wilayah ataupun lockdown bukan langkah yang mudah, banyak sekali konsekuensi yang harus dipikirkan terhadap dampaknya Tidak hanya berdampak kepada stabilitas ekonomi, tapi juga kepada kehidupan sosial, hukum dan politik.
Tetapi dalam upaya memerangi Pandemi COVID-19 dengan kondisi dan situasi darurat sekarang ini dimana keselamatan rakyat menjadi taruhannya maka pemerintah seharusnya menjalankan segala daya upaya untuk memutus rantai penyebaran COVID-19 ini agar Indonesia bisa kembali pulih.
Hal tersebut merupakan suatu conditio sine quanon sesuai asas hukum yang dicetuskan oleh Marcus Tullius Cicero yaitu “Salus populi suprema lex esto” yang artinya adalah keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
Asas hukum Salus populi suprema lex esto merupakan fundamen dari Alenia keempat UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada…”
Ini merupakan alenia sakral yang menjadi tujuan pembentukan negara Republik Indonesia. Perlindungan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia ini merupakan hukum tertinggi bagi negara ini. Itulah mengapa tujuan perlindungan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah tertuang dalam Pembukaan Konstitusi Indonesia sebagai hukum tertinggi.
Di bidang penegakan hukum dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah beberapa instansi telah menerapkan asas ini di antaranya:
1.      Kepolisian RI dengan menerbitkan Maklumat Kapolri Jendral Idham Azis No. Mak/2/lll/2020 tanggal 19 Maret 2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19). Melalui maklumat ini maka Kepolisian dimungkinkan untuk bertindak secara represif bagi orang-orang yang dengan sengaja menolak untuk mematuhi protokol dan himbauan pemerintah apabila perlu dengan menerapkan ketentuan pidana menurut Undang-undang nomor 4 Tahun 1984 pasal 14 tentang wabah penyakit menular, Undang-undang nomor 6 Tahun 2018 pasal 93 tentang Kekarantinaan Kesehatan, serta pasal-pasal didalam KUHP yaitu pasal 212, pasal 214, Pasal 216 ayat (1) serta pasal 218.
2.      Mahkamah Konstitusi (MK) RI yang diketuai Anwar Usman meniadakan sidang dan layanan perkara selama waktu tertentu, Kebijakan itu dituangkan dan ditetapkan dalam Surat Edaran (SE) Sekretaris Jenderal MK tentang Upaya Pencegahan Penyebaran COVID-19 di Lingkungan Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Maret 2020.
3.      Mahkamah Agung RI yang menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2020 terkait pedoman pelaksanaan tugas selama masa pencegahan penyebaran COVID-19 di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan di jajarannya, Menurut Ketua MA M.Hatta Ali ini SEMA ini dimaksudkan untuk mengatur agar seluruh pimpinan, hakim, dan aparatur peradilan dan badan peradilan di bawahnya supaya melakukan langkah-langkah pencegahan demi pencegahan penyebaran COVID-19.
4.      Kementrian Hukum dan Ham melalui  Surat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor (Menkumham) M.HH.PK.01.01.01-03 tertanggal 24 maret 2020 perihal pencegahan dan pengendalian penyebaran covid-19 di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rutan surat Menkumham Yasonna Laoly tersebut menekankan apabila perpanjangan penahanan sudah tidak dimungkinkan, sidang perkara pidana dapat dilaksanakan di rutan atau lapas terbuka untuk publik. Sidang dilaksanakan melalui media internet.
5.      Kejaksaan Agung RI melalui Instruksi Jaksa Agung ST. Burhanudin dalam suratnya Nomor B-049/A/SUJA/03/2020 tanggal 27 Maret 2020 dan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor 02 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Pegawai Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran virus Corona (Covid-19) di Lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia.

KEPENTINGAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DITINJAU DARI SUDUT PANDANG VIKTIMOLOGI

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala Rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.
Makalah dengan judul “ KEPENTINGAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DITINJAU DARI SUDUT PANDANG VIKTIMOLOGI “ ini dibuat guna memenuhi tugas Mata Kuliah VIKTIMOLOGI dan sebagai wacana sederhana di kalangan mahasiswa.
Sebagai manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, Saya menyadari banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat Saya harapkan guna menyempurnakan makalah selanjutnya.
Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak – pihak yang turut membantu sehingga tugas ini dapat terselesaikan.

Ternate, 01 November 2010


Anggi Dwi Putra, S.H
Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Korban suatu tindak pidana, dalam Sistem Hukum Nasional, posisinya tidak menguntungkan. Karena korban tersebut, dalam Sistim Peradilan khususnya system peradilan pidana, hanya sebagai figuran bukan sebagai pemeran utama atau hanya sebagai saksi (korban). Dalam kenyataannya korban suatu tindak pidana oleh masyarakat dianggap sebagaimana korban bencana alam, terutama tindak pidana dengan kekerasan.
Melihat uraian diatas, maka posisi korban dalam suatu tindak pidana dapat dikatakan tidak mudah dipecahkan dari sudut hukum. Masalah kepentingan korban dari sejak lama kurang begitu mendapat perhatian, tetapi obyek perhatian ternyata masih lebih terfokus kepada bagaimana memberikan hukuman kepada si pelaku tindak pidana, dan hal itu masih melekat pada fenomena pembalasan belaka.
Dalam perkembangannya pandangan masyarakat terhadap korban, korban dapat mempercepat terjadinya sutau tindak pidana yang dilakukan oleh si pelaku. Si pelaku berperan aktif dan si korban berperan pasif, dalam hal ini korban dianggap sebagai ”korban yang bersalah” dalam terjadinya tindak pidana, hal ini si pelaku menjadi fokus perhatian reaksi sosial (peradilan), sedangkan korban mengalami hal kurang perhatian dan akhirnya dianggap kurang penting dalam proses reaksi sosial, kecuali hanya sekedar sebagai obyek bukti (saksi korban) dan bukan sebagai subyek dalam Sistim Peradilan Pidana di Indonesia.
Menurut Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 (UUD ‘45), yang menyatakan, bahwa : ” Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Negara berkomitmen bahwa setiap warga negara harus di perlakukan baik dan adil sama kedudukannya di dalam hukum, juga dalam pengertian apakah ia seorang tersangka atau korban suatu tindak pidana, perikemanusiaan sebagai sendi nilai falsafah negara Pancasila menjiwai seluruh keberadaan hukum di negara Indonesia, mulai dari UUD ‘45 hingga kepada peraturan perundang-undangan ke bawahnya.
Sistim Peradilan melalui produk peraturan perundang-undangan Indonesia, khususnya KUHAP ( Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang diundangkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 ) yang menjadi dasar dari penyelenggaraan Sistim Peradilan Pidana, belum benar-benar mencantumkan, terhadap apa yang di isyaratkan dalam UUD 45 dan falsafah negara Pancasila tersebut. Hal demikian memunculkan persoalan klasik, bahwa sistem Peradilan Pidana sebagai basis penyelesaian perkara pidana tidak mengakui eksistensi korban tindak pidana selaku pencari keadilan, seorang korban tindak pidana akan menderita kembali sebagai akibat dari sistem hukum itu sendiri, karena korban tindak pidana tidak bisa dilibatkan secara aktif seperti halnya dalam beracara perdata, tidak dapat langsung mengajukan sendiri perkara pidana ke pengadilan melainkan harus melalui instansi yang di tunjuk (kepolisian dan kejaksaan). Sementara itu kepentingan korban tindak pidana telah diwakili oleh alat negara yakni polisi dan jaksa sebagai penyelidik, penyidik, penuntut umum, akan tetapi hubungan antara korban tindak pidana di satu pihak dengan polisi dan jaksa di pihak lain adalah bersifat simbolik, sementara itu hubungan antara terdakwa dengan penasehat hukumnya secara prinsip adalah murni dalam hubungan hokum antara pengguna jasa dan pemberi jasa yang di atur dalam hukum perdata.
Uraian di atas menunjukan bahwa sudah selayaknya Sistem Peradilan Pidana, harus di kaji ulang dan harus melihat kepentingan yang lebih luas, tidak hanya terfokus pada pembalasan bagi si pelaku tindak pidana saja, akan tetapi juga kepentingan korban tindak pidana sudah selayaknya di perhatikan. Perlindungan yang ada dalam KUHAP lebih banyak melindungi hak asasi si pelaku tindak pidana dari pada hak asasi/kepentingan korban tindak pidana, untuk hal tersebut dapat di kemukakan ketentuan-ketentuan yang melindungi/memperhatikan kepentingan korban hanya mengenai praperadilan dan gabungan gugatan ganti kerugian, degan kata lain sistem yang dianut oleh KUHAP adalah Retributive Justice, yaitu suatu kebijakan yang titik perlindungannya adalah si pelaku tindak pidana (offender oriented) bukan Restorative Justice yang fokus kebijakan perlindungan terhadap korban tindak pidana (victim oriented).

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah tinjauan aspek viktimologi terhadap kepentingan korban tindak pidana ?
2.      Bagaimanakah KUHP mengelementasi kepentingan korban tindak pidana ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kepentingan Korban Tindak Pidana Di Tinjau Dari Aspek Viktimologi
Dilihat dari sudut Hak Asasi Manusia (HAM), masalah kepentingan korban tindak pidana merupakan bagian dari persoalan hak asasi manusia pada umumnya. Prinsip Universal sebagaimana termuat dalam The Universal Declaration of Human Right (10 Desember 1948) dan The International Covenant on Civil and Political Rights (16 Desember 1966) mengakui bahwa semua orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa perlakuan atau sikap diskriminasi apapun. Setiap tindakan pelanggaran hak-hak asasi yang di jamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan nasional.
Dalam Pasal 9 ayat (5) dari Covenant di atas di gariskan prinsip ganti rugi yang menggariskan bahwa anyone who has been the victim of the unlawful arrest or detention shall have enforceable right to compensation. Rumusan-rumusan di atas kemudian didukung dengan Konvensi Menentang Tindak Pidana Terorganisir Antarnegara (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime,2002), yang dalam Pasal 25 memberikan prinsip bahwa “ Negara-negara hendaknya mengambil langkah-langkah tepat dalam bentuk sarana-sarana memberikan bantuan serta perlindungan kepada korban dari pelanggaran yang tercakup dalam konvensi.
Berbagai prinsip yang digariskan di atas mempunyai nilai yang dapat mendukung aspek viktimologis, terlebih dapat berfungsi sebagai landasan kuat bagi perumusan hukum kelak bagi kepentingan korban-korban tindak pidana dalam perumusan-perumusan tata pengaturan bagi setiap negara mengenai hak-hak korban dari tindakan perlakuan pelanggaran hukum. Perkembangan di dalam hukum nasional, awalnya tidak begitu responsive terhadap kepentingan korban.
Tetapi dengan berbagai kongres internasional yang membahas masalah viktim, tampaknya perhatian terhadap korban tindak pidana mulai terangkat. Seperti diketahui setidaknya ada 3 (tiga) pertemuan internasional mengenai tema yang sama, yakni :
1.      Kongres di Geneva membahas ”new form and dimensions of crime
2.      Kongres di Caracas tahun 1980 menindak lanjuti tentang crime and the abuse of power, offenses and offenders beyond the reach of law;
3.      kongres di Milan 1985 yang membicarakan victim of crime, which it connect the new dimentions of criminality and crime prevention in the context of development, convention and non conventional crime, illegal abuse of economic and public power.
Ketiga kongres internasional tersebut cukup banyak memperhatikan segi korban yang berkaitan dengan perkembangan baru tentang bentuk tindak pidana dan pembangunan hukum, hal mana diperkirakan berkaitan dengan Declaration on Justice and Assistence for Viktim..
Sehubungan dengan deklarasi tersebut, Negara diharapkan untuk mengemban berbagai tanggung jawab memikirkan kompensasi seperti antara lain membuat program kompensasi bagi korban seperti program asuransi. Sementara itu ada pandangan, bahwa Gambaran tentang dasar alasan negara memberikan kompensasi pada prinsipnya bertolak pada :
1.      Kewajiban negara melindungi warga negaranya
2.      Kemungkinan ketidakmampuan pelaku tindak pidana memberi ganti rugi yang cukup
3.      Sosiologi hukum berpandangan bahwa tindak pidana yang timbul adalah andil kesalahan masyarakat atau tindak pidana sebagai anak kandung.
Dalam pandangan tersebut di atas, perhatiannya masih merujuk pada si pelaku tindak pidana, dan hak-hak korban belum dapat terealisir sepenuhnya, meskipun negara memberi kompensasi. kepada korban, sementara hak-hak dari si pelaku masih dominan (pelaku yang dalam ketidakmampuan untuk mengganti kerugian materi korban atas tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku).
Melihat jangkauan sejarah hukum Indonesia, dapat dijumpai berbagai kitab Undang-undang hukum. Salah satu diantaranya adalah yang berasal dari zaman Majapahit, ialah yang disebut ”perundang-undangan Agama”. Dalam Undang-undang ini terdapat pidana pokok berupa ganti kerugian atau ”panglisyawa” atau ”patukusyawa”. Perundang-undangan dari Majapahit tersebut, apabila diteliti, maka tampak adanya hubungan antara si pelaku dan korban, sebagaimana beberapa contoh di bawah ini :
§  Pasal 56 : Jika seorang pencuri mohon hidup, maka ia harus menebus pembebasannya sebanyak delapan tali, membayar denda empat laksa kepada raja yang berkuasa, membayar kerugian (panglisyawa) kepada orang yang kena curi dengan cara mengembalikan segala milik yang diambilnya dua lipat.
§  Pasal 242 : Barang siapa naik pedati, kuda atau kendaraan apapun, jika melanggar atau menginjak orang sampai mati, ia sendiri atau saisnya dikenakan denda dua laksa oleh raja yang berkuasa, ditambah uang ganti kerugian (pamidara) sebanyak delapan tali kepada pemilik orang yang terlanggar itu, atau kepada sanak saudara orang yang mati itu.
§   Pasal 19 : Barangsiapa membunuh wanita yang tidak berdosa, harus membayar untuk wanita yang bersangkutan dua lipat, dan dikenakan uang ganti kerugian (patukusyawa) empat kali.
Dalam undang-undang tersebut di atas, korban yang mengalami penderitaan atau kepedihan, yang di akibatkan oleh perbuatan si pelaku, oleh undang-undang tersebut diringankan dengan diberi kemungkinan penggantian kerugian.
Apabila melihat pengertian ”korban” sebagaimana disebutkan dalam undang-undang tersebut, maka pengertian tersebut sangat luas, dan hal itu menimbulkan kesulitan dalam pemberian penggantian kerugian. Perlu di beri pembatasan siapakah dalam suatu perkara pidana di sebut ”korban” atau orang yang dirugikan itu.
Menurut pendapat pakar hukum pidana Indonesia : Penetapan orang yang dirugikan itu di dasarkan atas azas-azas hukum perdata dan kerugian itu ditimbulkan oleh perbuatan seseorang yang oleh hukum pidana di sebut ”si pembuat” (dader) dari suatu tindak pidana. Jadi dalam masalah ganti rugi dalam pidana harus di lihat dalam hubungannya dengan ”tiga serangkai” : delik (tindak pidana) – pembuat – korban. Masih pula harus di perhatikan, kerugian itu bersifat materiil dan immateriil. Penggantian kerugian bersifat materiil tidak menimbulkan masalah, tidak demikian dengan kerugian yang bersifat immateriil, yang berupa kesusasahan, kecemasan, rasa malu dan sebagainya. Kerugian ini harus diganti dengan wujud uang. Dalam hukum perdata hal ini sudah biasa, disitu di kenal apa yang disebut uang duka. Dimensi ganti rugi atas penderitaan korban dikaitkan dengan system restitusi, yang dalam pengertian viktimologi adalah berhubungan dengan perbaikan atau restorasi atas kerugian fisik, moril, harta benda dan hak-hak korban yang di akibatkan oleh tindak pidana. Karakter utama dari restitusi ini berindikasi pertanggungan jawab pembuat atas tuntutan tindakan restitutif yang bersifat pidana dalam kasus pidana, yang dalam pengertian viktimologi adalah berhubungan dengan perbaikan atau restorasi atas kerugian fisik, moril, harta benda dan hak-hak yang di akibatkan oleh tindak pidana. Berbeda dengan kompensasi, bahwa kompensasi diminta atas dasar permohonan, dan jika di kabulkan harus di bayar oleh masyarakat atau negara, sedangkan restitusi di tuntut oleh korban agar di putus pengadilan dan jika diterima tuntutannya, harus di bayar oleh pelaku tindak pidana itu.
Karena hakikat perbedaan demikian masih belum di realisasikan dalam kenyataan, maka sering kali tidak ada bedanya antara kedua pembayaran itu, karena yang terpenting, perhatian terhadap korban lebih dahulu, kemudian menyusul bentuk pembayaran atas kerugian korban.
Dalam perkembangannya tentang korban ini, telah dituangkan dalam Undang-undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Hal mana kepentingan korban di kuasakan pada suatu Lembaga yang di bentuk oleh undang-undang yakni Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK). Kepentingan korban melalui LPSK tersebut tertuang dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai berikut :
1.      Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa :
a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
2.      Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
3.      Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi di atur dengan Peraturan Pemerintah.
Menurut Undang-undang tersebut diatas, meskipun hak-hak dan kepentingan korban, telah dikuasakan pada LPSK, namun kenyataannya dalam Sistem Peradilan Pidana, korban tetap sebagai figuran atau hanya saksi (korban) dalam persidangan, karena hak-hak dan kepentingan korban dalam peradilan (pidana) masih di wakili oleh Polisi dan Jaksa.
Perbincangan tersebut di atas yang menyangkut berbagai kepentingan dari perlakukan-perlukan tindak pidana yang di alami seseorang dirangkum secara sistematis ke dalam bidang kajian dari viktimologi.
Dalam hal ini viktimologi tidak saja berperan dalam bidang hukum pidana, krimonologi, atau penologi, yakni ilmu mengenai penjatuhan hukuman, tetapi juga para pakar sependapat bahwa diperoleh suatu kesepakatan bahwa masalah korban manusia menjadi menarik perhatian di lihat dari sudut hukum perdata. Viktomologi adalah suatu studi atau pengetahuan ilmiah yang mempelajari masalah pengorbanan kriminal sebagai suatu masalah manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Viktimologi merupakan bagian dari kriminologi, yang mempunyai obyek studi yang sama, yaitu tindak pidana atau pengorbanan kriminal (viktimisasi kriminal) dan segala sesuatu yang akibatnya, dapat merupakan viktimogen atau kriminogen. Viktimologi juga mempelajari sejauh mana pelaksaan peraturan tentang hak-hak korban telah dilaksanakan.
Aspek viktimologi dalam hukum nasional dapat dilihat terutama dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), selain itu dengan telah dibentuknya Pengadilan tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yang telah melaksanakan secara efektif pada tahun 2002, yang didasarkan atas Undang-undang No. 26 Tahun 2000. Selanjutnya implementasi undang-undang tentang HAM tersebut di tuangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2000 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat. Sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 butir 3 yang berbunyi sebagai berukut : ”Korban adalah orang perorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya”.
Dalam hal ini persoalannya adalah, apakah masalah kepentingan korban tindak pidana biasa termasuk dalam persoalan HAM, karena dalam ketentuan di Pasal 1 butir 3 tersebut hanya untuk korban pelanggaran HAM berat saja, sedangkan korban-korban tindak pidana biasa tidak disebutkan dalam ketentuan tersebut. Hal tersebut perlu ada kajian lebih lanjut, karena apabila korban tindak pidana biasa bisa masuk dalam ketentuan tersebut, maka korban tindak pidana biasa dapat masuk pula kedalam kompetensi peradilan HAM.

B.     Pengelementasian Kepentingan Hukum Korban Suatu Tindak Pidana ditinjau dari KUHAP
Melihat uraian diatas, maka dapat dilihat bahwa pengertian korban, adalah sangat luas, untuk itu hal ini perlu di batasi tentang pengertian korban, yang di maksud dengan korban dalam hal ini adalah : Korban dalam pengertian sebagai akibat adanya tindak pidana (victim against crime).
Posisi korban dalam praktek dapat dilihat dalam sudut pandang :
§  Korban dilihat dari pembentukan hokum
§  Korban dilihat dari perilaku kriminal atau anti social
§  Korban dilihat dari dalam lingkup HAM dan kesejahteraan sosial.
Apabila hendak mendapatkan posisi korban tindak pidana, maka dapat dilihat dari pembagian posisi korban, sebagaimana terinci sebagai berikut :
§  Korban pembentukan hukum, yang terdiri dari :
a. Korban dari over legaslation dan sweeping legislation;
b. Korban dari kekososngan atau kesesatan hokum;
§  Korban Perilaku Kriminal / Anti Sosial :
a. Korban dari crime against the person;
b. Korban dari against the property;
c. Korban dari drug abuse;
d. Korban dari sex offences/rape;
e. Korban dari white collar crime/organized crime;
f. Korban dari new crime forms;
§  Korban dalam lingkup HAM dan kesejahteraan social :
a.       Korban pelanggaran HAM berat, yang terdiri dari :
1.      pelanggaran yang bersifat kriminal dan ada pula yang bersifat fealusence;
2.      korban pelanggaran berat terbagi dalam genocide, torture, enforced displacement, crime against women and children, extrajudicial killing, schorsing rubbel;
b.      Korban dari pelanggaran HAM tidak langsung, seperti keluarga, kelompok korban yang menderita tekanan jiwa atau kemiskinan;
c.       Korban pelanggaran kesejahteraan.
Lingkup bahasan dalam kelompok di atas adalah mengenai korban dalam kelompok 2 (dua), yakni korban perilaku kriminal/anti sosial, yang dapat diproses berdasarkan KUHAP sebagai landasan operasional penyelenggaraan peradilan (pidana). Ketentuan-ketentuan dalam hubungannya dengan aspek viktimologi di dalam KUHAP secara relatif boleh di katakan banyak. Apabila di catat maka pengaturan KUHAP dalam kaitannya dengan viktimologi dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (10), ayat (22), Pasal 81, Pasal 82 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 95 ayat (1) hingga ayat (5), Pasal 96 ayat (1), Pasal 98 ayat (1), Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), Pasal 101, Pasal 274, Pasal 275 yang nuansanya lebih banyak menyangkut ganti rugi.
Apabila kita cermati mengenai hak-hak korban yang tertuang di dalam KUHAP, maka di dapat pengaturan hak-hak bagi korban sangat minim sekali di bandingkan dengan pengaturan tentang hak-hak pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa/terpidana). Perlindungan hukum lebih banyak di atur untuk pelaku tindak pidana, sebagaimana tampak dalam berbagai Pasal tersebut di atas dibandingkan dengan kepentingan korban yang mengalami penderitaan dari perbuatan pelaku tindak pidana.
Jika kita mencatat hak-hak korban yang ada dalam KUHAP, maka terdapat hanya 4 (empat) aspek, yaitu :
1.      Hak untuk melakukan kontrol terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum, yakni hak mengajukan keberatan atas tindakan penghentian penyidikan dan/atau penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Ini di atur dalam Pasal 109 dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP;
2.      Hak korban dalam kedudukannya sebagai saksi, sebagaimana di jumpai dalam Pasal 168 KUHAP;
3.      Hak bagi keluarga korban dalam hal korbanmeninggal dunia, untuk mengijinkan atau tidak atas tindakan polisi melakukan bedah mayat atau penggalian kubur untuk otopsi. Hak demikian di atur dalam Pasal 134 sampai 136 KUHAP;
4.      4. Hak menuntut ganti rugi atas kerugan yang di derita dari akibat tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pihak yang dirugikan. Dapat dijumpai dalam Pasal sampai dengan Pasal 101 KUHAP.
Eksistensi dan posisi hukum korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana, tidak menguntungkan bagi korban tindak pidana, karena terbentur dalam problem yang mendasar yakni korban hanya sebagai saksi (pelapor atau korban). Korban tidak termasuk dalam bagian dari unsur yang terlibat dalam system peradilan pidana, tidak sebagaimana terdakwa, polisi dan jaksa.
Hal tersebut berakibat bagi korban tindak pidana tidak mempunyai upaya hukum, apabila ia keberatan terhadap suatu putusan pengadilan, misalnya banding atau kasasi apabila putusan pengadilan yang di pandang tidak adil atau merugikan dirinya. Dalam kaitannya antara korban dengan unsur yang terlibat dalam system peradilan pidana, beberapa pendapat pakar hukum di warnai dengan pro dan kontra, terutama tentang ganti rugi korban tindak pidana. Pendapat yang kontra menyatakan, bahwa masuknya kepentingan korban dalam proses tindak pidana akan mempersulit proses pidana dan tidak sesuai dengan prinsip keadilan yang cepat, murah dan sederhana.
Di samping itu doktrin yang di ajarkan bahwa di bedakan antara hukum publik dan hukum privat dimana hukum pidana dan hukum acara pidana adalah urusan negara bukan individuindividu. Tuntutan ganti rugi karena tindak pidana di ajukan melalui prosedur perdata. Sementara pendapat yang pro menyatakan bahwa masuknya kepentingan pihak yang dirugikan dalam proses pidana merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi semua masyarakat , bukan hanya mereka yang di tuduh melanggar hukum pidana, tetapi masyarakat yang menjadi korban karena pelanggaran hukum pidana.
Dalam Pasal 99 KUHAP, di rumuskan tentang kerugian yang di timbulkan oleh tindak pidana yang dapat di tuntut melalui prosedur pidana, yaitu hanya kerugian yang di derita korban yang sifatnya perdata berupa biaya atau ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan oleh korban, sedangkan kerugian lainnya harus diajukan melalui gugatan perdata biasa. Hal ini sesungguhnya tidak layak di bandingkan dengan penderitaan korban. Kerugian materiil lainnya yang bukan biaya yang di keluarkan untuk pemulihan dan kerugian immateriil yang justru lebih berat di alami oleh korban tidak dapat di mintakan ganti rugi melalui prosedur pidana.
Uraian di atas menunjukan bahwa masalah kepentingan korban tindak pidana masih saja mendapat tantangan dari sudut mekanisme peradilan pidana, karena pembuat undang-undang (kebijakan legislatif) sangat dipengaruhi oleh keinginan aliran dalam masyarakat yang ingin lebih memprioritaskan perlindungan HAM pelaku tindak pidana, sehingga melupakan asas keseimbangan dan pengayoman yang menjadi prinsip dasar dari filsafat hukum Pancasila.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Perhatian hukum terhadap korban tindak pidana dalam KUHAP belum mendapat perhatian optimum, tetapi sebaliknya perhatian pengaturan hokum atas dasar penghormatan terhadap HAM dari pelaku tindak pidana cukup banyak;
2.      Pengertian mengenai kepentingan korban dalam kajian viktimologi, tidak saja hanya di pandang dari perspektif hukum pidana atau kriminologi saja, melainkan berkaitan pula dengan aspek keperdataan;
3.      Pandangan KUHAP terhadap hak-hak korban tindak pidana masih sangat terbatas dan tidak sebanding dengan hak-hak yang diperoleh pelaku tindak pidana.

Saran
Melihat kepentingan korban yang tidak seimbang dengan kepentingan pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana yang tertuang di dalam KUHAP, maka sudah saatnya KUHAP tersebut direvisi, dan aspek-aspek viktimologi agar diakomodir dalam prinsip-prinsip pengaturannya. Hal tersebut agar supaya hak-hak kepentingan korban tindak pidana lebih berimbang dengan hak-hak kepentingan tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana. Sehingga dengan demikian dalam Hukum Acara Pidana yang akan datang (jus constituendum) akan ada pergeseran prespektif dari retributive justice yang bersifat offender oriented ke sistem rostotarive justice atau keadilan yang berisfat victim oriented, sesuai dengan filsafat hukum Pancasila yang menganut prinsip ”pengayoman” dan ”keseimbangan untuk semua pihak” anggota masyarakat pencari keadilan yang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pengadilan (equality befor the law and before the court).



DAFTAR PUSTAKA


Gosita, Arif, Viktimologi dan KUHAP, Jakarta, Akademika Presindo, 1986.
Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Jakarta, Pradnya Paramita, 1986.
Pornomo, Bambang, Hukum dan Viktimologi, Bahan Kuliah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Bandung 2001/2002.
Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana,Desertasi Pengukuhan Guru Besar Hukum Pidana, Universitas Indonesia, Tanggal 6 April 2001.
Nawawi, Arif, Barda, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung, Citra aditya Bakti, 2001.
Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, BPHN
Departemen Kehakiman R.I., 1989.
Soeparman, Parman, Haji, Kepentingan Korban Tindak Pidana Dilihat Dari Sudut Viktimologi, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXII No. 260 Juli 2007.
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1986.
Undang-undang Dasar 1945. Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

MENGENAL REKAM JEJAK DIGITAL KITA DI INTERNET

Anggi Dwi Putra, SH Dunia digital memiliki jangkauan yang luas, tidak terbatas ruang dan waktu, mudah diterima serta dibagikan. Jika dahulu ...