KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala Rahmat dan
karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.
Makalah dengan judul “ KEPENTINGAN
KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DITINJAU DARI SUDUT PANDANG VIKTIMOLOGI “ ini dibuat guna memenuhi tugas Mata Kuliah VIKTIMOLOGI dan sebagai wacana
sederhana di kalangan mahasiswa.
Sebagai manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, Saya
menyadari banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun sangat Saya harapkan guna menyempurnakan makalah
selanjutnya.
Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak –
pihak yang turut membantu sehingga tugas ini dapat terselesaikan.
Ternate, 01 November 2010
Anggi Dwi Putra, S.H
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Korban suatu tindak pidana, dalam Sistem Hukum
Nasional, posisinya tidak menguntungkan. Karena korban tersebut, dalam
Sistim Peradilan khususnya system peradilan pidana, hanya sebagai figuran
bukan sebagai pemeran utama atau hanya sebagai saksi (korban). Dalam
kenyataannya korban suatu tindak pidana oleh masyarakat dianggap
sebagaimana korban bencana alam, terutama tindak pidana dengan
kekerasan.
Melihat uraian diatas, maka posisi korban dalam
suatu tindak pidana dapat dikatakan tidak mudah dipecahkan dari sudut
hukum. Masalah kepentingan korban dari sejak lama kurang begitu mendapat perhatian,
tetapi obyek perhatian ternyata masih lebih terfokus kepada bagaimana memberikan
hukuman kepada si pelaku tindak pidana, dan hal itu masih melekat pada
fenomena pembalasan belaka.
Dalam perkembangannya pandangan masyarakat terhadap
korban, korban dapat mempercepat terjadinya sutau tindak pidana yang
dilakukan oleh si pelaku. Si pelaku berperan aktif dan si korban
berperan pasif, dalam hal ini korban dianggap sebagai ”korban yang
bersalah” dalam terjadinya tindak pidana, hal ini si pelaku menjadi
fokus perhatian reaksi sosial (peradilan), sedangkan korban mengalami hal kurang
perhatian dan akhirnya dianggap kurang penting dalam proses reaksi sosial, kecuali
hanya sekedar sebagai obyek bukti (saksi korban) dan bukan sebagai subyek
dalam Sistim Peradilan Pidana di Indonesia.
Menurut Pasal
27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 (UUD ‘45), yang menyatakan,
bahwa : ” Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Negara berkomitmen bahwa setiap warga negara
harus di perlakukan baik dan adil sama kedudukannya di dalam hukum, juga
dalam pengertian apakah ia seorang tersangka atau korban suatu tindak
pidana, perikemanusiaan sebagai sendi nilai falsafah negara Pancasila
menjiwai seluruh keberadaan hukum di negara Indonesia, mulai dari UUD ‘45
hingga kepada peraturan perundang-undangan ke bawahnya.
Sistim Peradilan melalui produk peraturan
perundang-undangan Indonesia, khususnya KUHAP
( Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang diundangkan dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 ) yang menjadi dasar dari penyelenggaraan Sistim
Peradilan Pidana, belum benar-benar mencantumkan, terhadap apa yang di
isyaratkan dalam UUD 45 dan falsafah negara Pancasila tersebut. Hal demikian
memunculkan persoalan klasik, bahwa sistem Peradilan Pidana sebagai basis
penyelesaian perkara pidana tidak mengakui eksistensi korban tindak pidana
selaku pencari keadilan, seorang korban tindak pidana akan menderita kembali
sebagai akibat dari sistem hukum itu sendiri, karena korban tindak pidana tidak
bisa dilibatkan secara aktif seperti halnya dalam beracara perdata, tidak dapat
langsung mengajukan sendiri perkara pidana ke pengadilan melainkan harus
melalui instansi yang di tunjuk (kepolisian dan kejaksaan). Sementara itu
kepentingan korban tindak pidana telah diwakili oleh alat negara yakni polisi
dan jaksa sebagai penyelidik, penyidik, penuntut umum, akan tetapi hubungan
antara korban tindak pidana di satu pihak dengan polisi dan jaksa di pihak lain
adalah bersifat simbolik, sementara itu hubungan antara terdakwa dengan
penasehat hukumnya secara prinsip adalah murni dalam hubungan hokum antara
pengguna jasa dan pemberi jasa yang di atur dalam hukum perdata.
Uraian di atas menunjukan bahwa sudah selayaknya
Sistem Peradilan Pidana, harus di kaji ulang dan harus melihat kepentingan yang
lebih luas, tidak hanya terfokus pada pembalasan bagi si pelaku tindak pidana
saja, akan tetapi juga kepentingan korban tindak pidana sudah selayaknya di
perhatikan. Perlindungan yang ada dalam KUHAP
lebih banyak melindungi hak asasi si pelaku tindak pidana dari pada hak
asasi/kepentingan korban tindak pidana, untuk hal tersebut dapat di kemukakan
ketentuan-ketentuan yang melindungi/memperhatikan kepentingan korban hanya
mengenai praperadilan dan gabungan gugatan ganti kerugian, degan kata lain
sistem yang dianut oleh KUHAP adalah
Retributive Justice,
yaitu suatu kebijakan yang titik perlindungannya adalah si pelaku tindak pidana
(offender oriented) bukan
Restorative Justice yang
fokus kebijakan perlindungan terhadap korban tindak pidana (victim oriented).
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
tinjauan aspek viktimologi terhadap kepentingan korban tindak pidana ?
2.
Bagaimanakah KUHP mengelementasi
kepentingan korban tindak pidana ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kepentingan
Korban Tindak Pidana Di Tinjau Dari Aspek Viktimologi
Dilihat dari sudut Hak Asasi Manusia (HAM), masalah
kepentingan korban tindak pidana merupakan bagian dari persoalan hak
asasi manusia pada umumnya. Prinsip Universal sebagaimana termuat dalam The Universal Declaration of Human Right (10 Desember 1948) dan The
International Covenant on
Civil and Political Rights (16 Desember 1966) mengakui bahwa semua
orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan
hukum yang sama tanpa perlakuan atau sikap diskriminasi apapun. Setiap
tindakan pelanggaran hak-hak asasi yang di jamin oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan nasional.
Dalam Pasal 9
ayat (5) dari Covenant
di atas di gariskan prinsip ganti rugi yang menggariskan bahwa ” anyone who has been the victim of the
unlawful arrest or
detention shall have enforceable right to compensation”. Rumusan-rumusan
di atas kemudian didukung dengan Konvensi
Menentang Tindak Pidana Terorganisir Antarnegara
(United Nations Convention Against Transnational Organized Crime,2002), yang
dalam Pasal 25 memberikan prinsip
bahwa “ Negara-negara hendaknya
mengambil langkah-langkah tepat dalam bentuk sarana-sarana memberikan bantuan serta perlindungan
kepada korban dari pelanggaran yang tercakup
dalam konvensi “.
Berbagai prinsip yang digariskan di atas mempunyai
nilai yang dapat mendukung aspek viktimologis, terlebih dapat berfungsi
sebagai landasan kuat bagi perumusan hukum kelak bagi kepentingan
korban-korban tindak pidana dalam perumusan-perumusan tata pengaturan
bagi setiap negara mengenai hak-hak korban dari tindakan perlakuan
pelanggaran hukum. Perkembangan di dalam hukum nasional, awalnya tidak
begitu responsive terhadap kepentingan korban.
Tetapi dengan berbagai kongres internasional yang
membahas masalah viktim, tampaknya perhatian terhadap korban tindak pidana
mulai terangkat. Seperti diketahui setidaknya ada 3 (tiga) pertemuan
internasional mengenai tema yang sama, yakni :
1.
Kongres di Geneva membahas ”new form
and dimensions of crime”
2.
Kongres di Caracas tahun 1980 menindak
lanjuti tentang crime and the abuse of power, offenses and offenders beyond
the reach of law;
3.
kongres di Milan 1985 yang membicarakan victim
of crime, which it connect the new dimentions of criminality and crime
prevention in the context of development, convention and non
conventional crime, illegal abuse of economic and public power.
Ketiga kongres internasional tersebut cukup banyak memperhatikan
segi korban yang berkaitan dengan perkembangan baru tentang bentuk tindak pidana
dan pembangunan hukum, hal mana diperkirakan berkaitan dengan Declaration on Justice and Assistence
for Viktim..
Sehubungan dengan deklarasi tersebut, Negara diharapkan
untuk mengemban berbagai tanggung jawab memikirkan kompensasi seperti antara
lain membuat program kompensasi bagi korban seperti program asuransi. Sementara
itu ada pandangan, bahwa Gambaran tentang dasar alasan negara memberikan
kompensasi pada prinsipnya bertolak pada :
1. Kewajiban
negara melindungi warga negaranya
2. Kemungkinan
ketidakmampuan pelaku tindak pidana memberi ganti rugi yang cukup
3. Sosiologi
hukum berpandangan bahwa tindak pidana yang timbul adalah andil kesalahan
masyarakat atau tindak pidana sebagai anak kandung.
Dalam pandangan tersebut di atas, perhatiannya masih
merujuk pada si pelaku tindak pidana, dan hak-hak korban belum dapat terealisir
sepenuhnya, meskipun negara memberi kompensasi. kepada korban, sementara
hak-hak dari si pelaku masih dominan (pelaku yang dalam ketidakmampuan untuk
mengganti kerugian materi korban atas tindak pidana yang dilakukan oleh
pelaku).
Melihat jangkauan sejarah hukum Indonesia, dapat
dijumpai berbagai kitab Undang-undang hukum. Salah satu diantaranya adalah yang
berasal dari zaman Majapahit, ialah yang disebut ”perundang-undangan Agama”.
Dalam Undang-undang ini terdapat pidana pokok berupa ganti kerugian atau ”panglisyawa”
atau ”patukusyawa”. Perundang-undangan dari Majapahit tersebut, apabila
diteliti, maka tampak adanya hubungan antara si pelaku dan korban, sebagaimana
beberapa contoh di bawah ini :
§ Pasal
56 : Jika seorang pencuri mohon hidup, maka ia harus menebus pembebasannya
sebanyak delapan tali, membayar denda empat laksa kepada raja yang berkuasa,
membayar kerugian (panglisyawa) kepada orang yang kena curi dengan cara
mengembalikan segala milik yang diambilnya dua lipat.
§ Pasal
242 : Barang siapa naik pedati, kuda atau kendaraan apapun, jika melanggar atau
menginjak orang sampai mati, ia sendiri atau saisnya dikenakan denda dua laksa
oleh raja yang berkuasa, ditambah uang ganti kerugian (pamidara) sebanyak delapan
tali kepada pemilik orang yang terlanggar itu, atau kepada sanak saudara orang
yang mati itu.
§ Pasal 19 : Barangsiapa membunuh wanita yang
tidak berdosa, harus membayar untuk wanita yang bersangkutan dua lipat, dan
dikenakan uang ganti kerugian (patukusyawa) empat kali.
Dalam undang-undang tersebut di atas, korban yang
mengalami penderitaan atau kepedihan, yang di akibatkan oleh perbuatan si
pelaku, oleh undang-undang tersebut diringankan dengan diberi kemungkinan penggantian
kerugian.
Apabila melihat pengertian ”korban” sebagaimana disebutkan
dalam undang-undang tersebut, maka pengertian tersebut sangat luas, dan hal itu
menimbulkan kesulitan dalam pemberian penggantian kerugian. Perlu di beri
pembatasan siapakah dalam suatu perkara pidana di sebut ”korban” atau orang
yang dirugikan itu.
Menurut pendapat pakar hukum pidana Indonesia : Penetapan
orang yang dirugikan itu di dasarkan atas azas-azas hukum perdata dan kerugian
itu ditimbulkan oleh perbuatan seseorang yang oleh hukum pidana di sebut ”si
pembuat” (dader) dari suatu tindak pidana. Jadi dalam masalah ganti rugi dalam
pidana harus di lihat dalam hubungannya dengan ”tiga serangkai” : delik (tindak
pidana) – pembuat – korban. Masih pula harus di perhatikan, kerugian itu bersifat
materiil dan immateriil. Penggantian kerugian bersifat materiil tidak menimbulkan
masalah, tidak demikian dengan kerugian yang bersifat immateriil, yang berupa
kesusasahan, kecemasan, rasa malu dan sebagainya. Kerugian ini harus diganti
dengan wujud uang. Dalam hukum perdata hal ini sudah biasa, disitu di kenal apa
yang disebut uang duka. Dimensi ganti rugi atas penderitaan korban dikaitkan
dengan system restitusi,
yang dalam pengertian viktimologi adalah berhubungan dengan perbaikan atau
restorasi atas kerugian fisik, moril, harta benda dan hak-hak korban yang di
akibatkan oleh tindak pidana. Karakter utama dari restitusi ini berindikasi pertanggungan
jawab pembuat atas tuntutan tindakan restitutif yang bersifat pidana dalam
kasus pidana, yang dalam pengertian viktimologi adalah berhubungan dengan
perbaikan atau restorasi atas kerugian fisik, moril, harta benda dan hak-hak
yang di akibatkan oleh tindak pidana. Berbeda dengan kompensasi, bahwa
kompensasi diminta atas dasar permohonan, dan jika di kabulkan harus di bayar
oleh masyarakat atau negara, sedangkan restitusi di tuntut oleh korban agar di
putus pengadilan dan jika diterima tuntutannya, harus di bayar oleh pelaku
tindak pidana itu.
Karena hakikat perbedaan demikian masih belum di realisasikan
dalam kenyataan, maka sering kali tidak ada bedanya antara kedua pembayaran
itu, karena yang terpenting, perhatian terhadap korban lebih dahulu, kemudian
menyusul bentuk pembayaran atas kerugian korban.
Dalam perkembangannya tentang korban ini, telah
dituangkan dalam Undang-undang nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Hal mana kepentingan
korban di kuasakan pada suatu Lembaga yang di bentuk oleh undang-undang yakni Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban
(LPSK). Kepentingan korban melalui LPSK
tersebut tertuang dalam Pasal 7 Undang-undang
Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai berikut :
1. Korban
melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa :
a.
hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
b.
hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku
tindak pidana.
2. Keputusan
mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
3. Ketentuan
lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi di atur dengan
Peraturan Pemerintah.
Menurut Undang-undang tersebut diatas, meskipun
hak-hak dan kepentingan korban, telah dikuasakan pada LPSK, namun kenyataannya dalam Sistem Peradilan Pidana, korban
tetap sebagai figuran atau hanya saksi (korban) dalam persidangan, karena
hak-hak dan kepentingan korban dalam peradilan (pidana) masih di wakili oleh
Polisi dan Jaksa.
Perbincangan tersebut di atas yang menyangkut
berbagai kepentingan dari perlakukan-perlukan tindak pidana yang di alami
seseorang dirangkum secara sistematis ke dalam bidang kajian dari viktimologi.
Dalam hal ini viktimologi tidak saja berperan dalam
bidang hukum pidana, krimonologi, atau penologi, yakni ilmu mengenai penjatuhan
hukuman, tetapi juga para pakar sependapat bahwa diperoleh suatu kesepakatan
bahwa masalah korban manusia menjadi menarik perhatian di lihat dari sudut
hukum perdata. Viktomologi adalah suatu studi atau pengetahuan ilmiah yang
mempelajari masalah pengorbanan kriminal sebagai suatu masalah manusia yang
merupakan suatu kenyataan sosial. Viktimologi merupakan bagian dari
kriminologi, yang mempunyai obyek studi yang sama, yaitu tindak pidana atau
pengorbanan kriminal (viktimisasi kriminal)
dan segala sesuatu yang akibatnya, dapat merupakan viktimogen atau
kriminogen. Viktimologi juga mempelajari sejauh mana pelaksaan peraturan
tentang hak-hak korban telah dilaksanakan.
Aspek viktimologi dalam hukum nasional dapat dilihat
terutama dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), selain itu dengan telah dibentuknya Pengadilan tentang Hak Asasi Manusia (HAM),
yang telah melaksanakan secara efektif pada tahun 2002, yang didasarkan atas Undang-undang No. 26 Tahun 2000.
Selanjutnya implementasi undang-undang tentang HAM tersebut di tuangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2000 tentang
Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang
Berat. Sebagaimana dimuat dalam Pasal
1 butir 3 yang berbunyi sebagai berukut : ”Korban adalah orang perorangan
atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun
emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau
perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang
berat, termasuk korban adalah ahli warisnya”.
Dalam hal ini persoalannya adalah, apakah masalah
kepentingan korban tindak pidana biasa termasuk dalam persoalan HAM, karena
dalam ketentuan di Pasal 1 butir 3
tersebut hanya untuk korban pelanggaran HAM berat saja, sedangkan korban-korban
tindak pidana biasa tidak disebutkan dalam ketentuan tersebut. Hal tersebut
perlu ada kajian lebih lanjut, karena apabila korban tindak pidana biasa bisa
masuk dalam ketentuan tersebut, maka korban tindak pidana biasa dapat masuk
pula kedalam kompetensi peradilan HAM.
B.
Pengelementasian Kepentingan Hukum
Korban Suatu Tindak Pidana ditinjau dari KUHAP
Melihat uraian diatas, maka dapat dilihat bahwa
pengertian korban, adalah sangat luas, untuk itu hal ini perlu di batasi
tentang pengertian korban, yang di maksud dengan korban dalam hal ini adalah
: Korban dalam pengertian sebagai akibat adanya tindak pidana (victim against crime).
Posisi korban dalam praktek dapat dilihat dalam
sudut pandang :
§ Korban
dilihat dari pembentukan hokum
§ Korban
dilihat dari perilaku kriminal atau anti social
§ Korban
dilihat dari dalam lingkup HAM dan kesejahteraan sosial.
Apabila hendak mendapatkan posisi korban tindak
pidana, maka dapat dilihat dari pembagian posisi korban, sebagaimana
terinci sebagai berikut :
§ Korban
pembentukan hukum, yang terdiri dari :
a.
Korban dari over legaslation dan sweeping legislation;
b.
Korban dari kekososngan atau kesesatan hokum;
§ Korban
Perilaku Kriminal / Anti Sosial :
a.
Korban dari crime against the person;
b.
Korban dari against the property;
c.
Korban
dari drug abuse;
d.
Korban
dari sex offences/rape;
e.
Korban
dari white collar crime/organized crime;
f.
Korban
dari new crime forms;
§ Korban
dalam lingkup HAM dan kesejahteraan social :
a.
Korban pelanggaran HAM berat, yang
terdiri dari :
1.
pelanggaran yang bersifat kriminal dan
ada pula yang bersifat fealusence;
2.
korban pelanggaran berat terbagi dalam genocide,
torture, enforced displacement, crime against women and children,
extrajudicial killing, schorsing rubbel;
b.
Korban dari pelanggaran HAM tidak
langsung, seperti keluarga, kelompok korban yang menderita tekanan jiwa
atau kemiskinan;
c.
Korban pelanggaran kesejahteraan.
Lingkup bahasan dalam kelompok di atas adalah
mengenai korban dalam kelompok 2 (dua), yakni korban perilaku
kriminal/anti sosial, yang dapat diproses berdasarkan KUHAP sebagai landasan operasional
penyelenggaraan peradilan (pidana). Ketentuan-ketentuan dalam
hubungannya dengan aspek viktimologi di dalam KUHAP secara relatif boleh di katakan banyak. Apabila di catat maka
pengaturan KUHAP dalam kaitannya
dengan viktimologi dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (10), ayat (22), Pasal 81,
Pasal 82 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 95 ayat (1) hingga ayat (5), Pasal 96 ayat (1), Pasal 98 ayat (1), Pasal 99
ayat (1), Pasal 100 ayat (1),
Pasal 101, Pasal 274, Pasal 275 yang nuansanya lebih banyak menyangkut
ganti rugi.
Apabila kita cermati mengenai hak-hak korban yang
tertuang di dalam KUHAP, maka
di dapat pengaturan hak-hak bagi korban sangat minim sekali di bandingkan
dengan pengaturan tentang hak-hak pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa/terpidana).
Perlindungan hukum lebih banyak di atur untuk pelaku tindak pidana,
sebagaimana tampak dalam berbagai Pasal tersebut di atas dibandingkan dengan
kepentingan korban yang mengalami penderitaan dari perbuatan pelaku
tindak pidana.
Jika kita mencatat hak-hak korban yang ada dalam KUHAP, maka terdapat hanya 4
(empat) aspek, yaitu :
1.
Hak untuk melakukan kontrol terhadap
tindakan penyidik dan penuntut umum, yakni hak mengajukan keberatan atas
tindakan penghentian penyidikan dan/atau penuntutan dalam kapasitasnya
sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Ini di atur dalam Pasal 109 dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP;
2.
Hak korban dalam kedudukannya sebagai saksi,
sebagaimana di jumpai dalam Pasal
168 KUHAP;
3.
Hak bagi keluarga korban dalam hal
korbanmeninggal dunia, untuk mengijinkan atau tidak atas tindakan polisi
melakukan bedah mayat atau penggalian kubur untuk otopsi. Hak demikian di atur
dalam Pasal 134 sampai 136 KUHAP;
4.
4. Hak menuntut ganti rugi atas kerugan
yang di derita dari akibat tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pihak yang
dirugikan. Dapat dijumpai dalam Pasal sampai dengan Pasal 101 KUHAP.
Eksistensi dan posisi hukum korban tindak pidana dalam
sistem peradilan pidana, tidak menguntungkan bagi korban tindak pidana, karena
terbentur dalam problem yang mendasar yakni korban hanya sebagai saksi (pelapor
atau korban). Korban tidak termasuk dalam bagian dari unsur yang terlibat dalam
system peradilan pidana, tidak sebagaimana terdakwa, polisi dan jaksa.
Hal tersebut berakibat bagi korban tindak pidana
tidak mempunyai upaya hukum, apabila ia keberatan terhadap suatu putusan
pengadilan, misalnya banding atau kasasi apabila putusan pengadilan yang di
pandang tidak adil atau merugikan dirinya. Dalam kaitannya antara korban dengan
unsur yang terlibat dalam system peradilan pidana, beberapa pendapat pakar
hukum di warnai dengan pro dan kontra, terutama tentang ganti rugi korban
tindak pidana. Pendapat yang kontra menyatakan, bahwa masuknya kepentingan
korban dalam proses tindak pidana akan mempersulit proses pidana dan tidak
sesuai dengan prinsip keadilan yang cepat, murah dan sederhana.
Di samping itu doktrin yang di ajarkan bahwa di
bedakan antara hukum publik dan hukum privat dimana hukum pidana dan hukum
acara pidana adalah urusan negara bukan individuindividu. Tuntutan ganti rugi
karena tindak pidana di ajukan melalui prosedur perdata. Sementara pendapat
yang pro menyatakan bahwa masuknya kepentingan pihak yang dirugikan dalam
proses pidana merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi semua
masyarakat , bukan hanya mereka yang di tuduh melanggar hukum pidana, tetapi
masyarakat yang menjadi korban karena pelanggaran hukum pidana.
Dalam
Pasal 99 KUHAP, di rumuskan tentang kerugian yang di timbulkan
oleh tindak pidana yang dapat di tuntut melalui prosedur pidana, yaitu hanya
kerugian yang di derita korban yang sifatnya perdata berupa biaya atau
ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan oleh korban, sedangkan kerugian lainnya
harus diajukan melalui gugatan perdata biasa. Hal ini sesungguhnya tidak layak
di bandingkan dengan penderitaan korban. Kerugian materiil lainnya yang bukan
biaya yang di keluarkan untuk pemulihan dan kerugian immateriil yang justru
lebih berat di alami oleh korban tidak dapat di mintakan ganti rugi melalui prosedur
pidana.
Uraian di atas menunjukan bahwa masalah kepentingan
korban tindak pidana masih saja mendapat tantangan dari sudut mekanisme
peradilan pidana, karena pembuat undang-undang (kebijakan legislatif) sangat
dipengaruhi oleh keinginan aliran dalam masyarakat yang ingin lebih
memprioritaskan perlindungan HAM pelaku tindak pidana, sehingga melupakan asas keseimbangan dan pengayoman yang
menjadi prinsip dasar dari filsafat hukum Pancasila.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Perhatian hukum terhadap korban tindak
pidana dalam KUHAP belum mendapat perhatian optimum, tetapi sebaliknya
perhatian pengaturan hokum atas dasar penghormatan terhadap HAM dari
pelaku tindak pidana cukup banyak;
2.
Pengertian mengenai kepentingan korban
dalam kajian viktimologi, tidak saja hanya di pandang dari perspektif
hukum pidana atau kriminologi saja, melainkan berkaitan pula dengan
aspek keperdataan;
3.
Pandangan KUHAP terhadap hak-hak korban
tindak pidana masih sangat terbatas dan tidak sebanding dengan hak-hak
yang diperoleh pelaku tindak pidana.
Saran
Melihat kepentingan korban yang tidak seimbang
dengan kepentingan pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana
yang tertuang di dalam KUHAP, maka sudah saatnya KUHAP tersebut
direvisi, dan aspek-aspek viktimologi agar diakomodir dalam
prinsip-prinsip pengaturannya. Hal tersebut agar supaya hak-hak
kepentingan korban tindak pidana lebih berimbang dengan hak-hak
kepentingan tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana. Sehingga dengan
demikian dalam Hukum Acara Pidana yang akan datang (jus constituendum) akan
ada pergeseran prespektif dari retributive justice yang bersifat
offender oriented ke sistem rostotarive justice atau keadilan yang berisfat
victim oriented, sesuai dengan filsafat hukum Pancasila yang
menganut prinsip ”pengayoman” dan ”keseimbangan untuk semua
pihak” anggota masyarakat pencari keadilan yang mempunyai kedudukan
yang sama di hadapan hukum dan pengadilan (equality befor the law and
before the court).
DAFTAR
PUSTAKA
Gosita,
Arif, Viktimologi dan KUHAP, Jakarta, Akademika Presindo, 1986.
Hamzah,
Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi,
Jakarta, Pradnya Paramita, 1986.
Pornomo,
Bambang, Hukum dan Viktimologi, Bahan Kuliah Pascasarjana Magister Ilmu
Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Bandung 2001/2002.
Mudzakkir,
Posisi Hukum Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana,Desertasi
Pengukuhan Guru Besar Hukum Pidana, Universitas Indonesia, Tanggal 6 April
2001.
Nawawi,
Arif, Barda, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Bandung, Citra aditya Bakti, 2001.
Rahardjo,
Satjipto, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, BPHN
Departemen
Kehakiman R.I., 1989.
Soeparman,
Parman, Haji, Kepentingan Korban Tindak Pidana Dilihat Dari Sudut Viktimologi,
Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXII No. 260 Juli 2007.
Sudarto,
Hukum Dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1986.
Undang-undang
Dasar 1945. Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana
Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban